Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa sepertiga dari total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia saat ini berasal dari sistem pangan global.
Jadi, upaya kita untuk melindungi planet ini dari dampak perubahan iklim akan gagal kecuali kita juga mengurangi emisi gas rumah kaca dari sistem pangan global.
Peningkatan emisi terbesar dalam rantai pasokan makanan global dipicu oleh konsumsi daging sapi dan produk susu di negara-negara yang berkembang pesat, seperti Tiongkok dan India.
Adapun emisi per kapita di negara-negara maju dengan persentase makanan hewani yang tinggi, terlihat menurun.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan bahwa tambahan 70% dari permintaan pangan saat ini akan dibutuhkan untuk memberi makan populasi dunia yang diperkirakan berjumlah 9,1 miliar pada tahun 2050.
Sebuah tim peneliti internasional yang dipimpin oleh para ilmuwan dari University of Groningen dan University of Birmingham, telah menerbitkan temuan mereka ini di jurnal Nature Food pada 15 Juni 2023.
Laporan studi mereka mengatakan bahwa pertumbuhan populasi global dan meningkatnya permintaan makanan intensif emisi, kemungkinan akan meningkatkan emisi lebih lanjut.
"Pergeseran global dalam pola makan, termasuk mengurangi asupan daging merah yang berlebihan dan meningkatkan porsi protein nabati—tidak hanya akan mengurangi emisi tetapi juga menghindari risiko kesehatan seperti obesitas dan penyakit kardiovaskular," kata Profesor Klaus Hubacek dari University of Groningen yang menjadi salah peneliti dalam studi ini.
Penulis korespondensi lainnya, Yuli Shan dari University of Birmingham, berkomentar, "Sistem pertanian pangan mendorong penggunaan lahan global dan aktivitas pertanian—menyumbang sekitar sepertiga dari gas rumah kaca antropogenik global."
"Pertumbuhan populasi, perluasan produksi pangan, dan peningkatan pola makan hewani kemungkinan besar akan semakin meningkatkan emisi dan menekan anggaran karbon global," ujarnya lagi seperti dikutip dari keterangan tertulis University of Birmingham.
Penulis pertama studi ini, Yanxian Li, mahasiswa di University of Groningen, menambahkan pentingnya mitigasi emisi dari sistem pangan global.
"Mitigasi emisi pada setiap tahap rantai pasokan makanan dari produksi hingga konsumsi sangat penting jika kita ingin membatasi pemanasan global," tegasnya.
"Namun, perubahan pola makan yang meluas dan bertahan lama sangat sulit dicapai dengan cepat, jadi insentif yang mendorong konsumen untuk mengurangi daging merah atau membeli produk dengan keuntungan lingkungan yang lebih tinggi dapat membantu mengurangi emisi makanan."
Dalam studi ini para peneliti menganalisis data yang menghubungkan emisi ke konsumen antara tahun 2000 dan 2019. Studi mereka menyoroti konsumsi makanan di lima negara penghasil emisi tertinggi pada tahun 2019.
Rinciannya, berdasarkan data 2019, kelima negara yang dimaksud—yakni Tiongkok (2,0 Gt CO2-eq), India (1,3 Gt), india (1,1 Gt), Brasil (1,0 Gt) dan Amerika Serikat (1,0 Gt)—bertanggung jawab atas lebih dari 40% emisi rantai pasokan makanan global.
Berdasarkan studi ini, emisi gas rumah kaca global tahunan yang terkait dengan makanan meningkat sebesar 14% (2 Gt CO2-eq) selama periode 20 tahun.
Peningkatan substansial dalam mengonsumsi produk hewani berkontribusi pada sekitar 95% kenaikan emisi global, terhitung hampir setengah dari total emisi makanan. Daging sapi dan susu menyumbang 32% dan 46% dari peningkatan emisi berbasis hewani global.
Konsumsi biji-bijian dan tanaman penghasil minyak masing-masing bertanggung jawab atas 43% (3,4 Gt CO2-eq pada 2019) dan 23% (1,9 Gt CO2-eq) dari emisi nabati global.
Adapun beras berkontribusi terhadap lebih dari setengah dari emisi global terkait biji-bijian. Negara kita Indonesia (20%), China (18%), dan India (10%) menjadi tiga kontributor teratas emisi pangan berbasis nabati global ini.
Kedelai (0,6 Gt CO2-eq) dan minyak sawit (0,9 Gt CO2-eq) memiliki andil terbesar dalam emisi global dari tanaman minyak masing-masing sebesar 30% dan 46%.
Indonesia, konsumen minyak sawit terbesar di dunia, menghasilkan emisi terbesar dari minyak sawit (35% dari total global pada tahun 2019).
Studi ini mengungkapkan perbedaan yang cukup besar terkait pola emisi dan tren di balik ini. Secara khusus, Indonesia disorot sebagai salah satu negara dengan produksi intensif emisi, terutama dengan aktivitas perubahan penggunaan lahan yang ekstensif.
Para peneliti mencatat bahwa serangkaian kebijakan perdagangan mempercepat kenaikan emisi melalui peningkatan impor pangan dari negara/kawasan dengan produksi intensif emisi.
Misalnya, Kesepakatan Hijau Uni Eropa mendorong pertanian yang kurang intensif di Eropa dan meningkatkan impor produk pertanian dari negara-negara seperti Brasil, Amerika Serikat, Indonesia, dan Malaysia.
Source | : | University of Birmingham |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR