Nationalgeographic.co.id—Tato adalah salah satu bentuk modifikasi tubuh tertua dan paling luas di dunia. Seperti praktik sunat, pengikatan kaki, dan pemanjangan leher, asal-usulnya tidak jelas. Di Kekaisaran Jepang, tato yang dikenal dengan sebutan irezumi diperkirakan berasal dari zaman prasejarah.
Fakta ini didukung oleh penemuan dekorasi torehan pada patung dogu dan haniwa yang digali dari situs paleolitik dan neolitik di Jepang. Dari zaman prasejarah, praktik tato terus dilakukan hingga zaman modern di Kekaisaran Jepang.
Hajichi, tato yang berfungsi sebagai ritus peralihan seorang wanita
Wanita dari Kepulauan Amami hingga Ryukyu mengenakan hajichi. Hajichi adalah sejenis tato yang dilukiskan pada tangan. Catatan paling awal dari praktik ini berasal dari abad ke-16, tetapi kebiasaan ini mungkin sudah ada sebelum itu.
Tampaknya dikaitkan dengan ritus peralihan; tato di tangan menunjukkan status pernikahan seorang wanita. “Dan penyelesaian proses pembuatan tato dirayakan sebagai acara yang menguntungkan,” tulis Yamamoto Yoshimi di laman Nippon.com. Bentuk tato yang tepat dan area tubuh yang ditutupi bervariasi dari pulau ke pulau. Di beberapa tempat diyakini bahwa seorang wanita tanpa hachiji yang tepat akan menderita di akhirat.
Di antara orang Ainu di utara, wanita biasanya memiliki tato di sekitar bibir dan tangan mereka. Tampaknya, tato adalah praktik yang umum di Kekaisaran Jepang di suatu masa. Catatan paling awal tentang asal-usul mitos Jepang menyebutkan tato sebagai kebiasaan atau hukuman yang dilakukan di daerah terpencil.
Namun, saat ini kebiasaan itu seakan sedang sekarat. Tato berangsur-angsur tidak lagi disukai di daratan Jepang. Dan pada awal abad ke-17, tato menghilang seluruhnya dari catatan tulisan dan gambar kontemporer.
Praktik tato di era Edo
Setelah pergolakan dan konflik periode Negara Berperang, Kekaisaran Jepang akhirnya mencapai stabilitas sosial di bawah Keshogunan Tokugawa. Pada era inilah, yang dikenal sebagai periode Edo (1603–1868), tato mengalami kebangkitan besar di Kekaisaran Jepang.
Referensi paling awal tentang modifikasi tubuh di era ini berkaitan dengan pelacur dan klien favorit mereka. Konon, mereka mengikrarkan cinta abadi dengan membuat tato nama kekasih. “Dalam beberapa kasus, bahkan ada yang memotong jari kelingking,” tambah Yoshimi.
Tanda kesetiaan abadi seperti itu kemudian dianut oleh gerombolan penjudi dan mafia yang muncul selama abad ke-18.
Praktik tato juga muncul di kalangan pria yang terlibat dalam perdagangan tertentu. Seperti hikyaku (kurir ekspres) dan tobi (pendaki). Agar dapat bergerak dengan mudah, para pedagang perkotaan ini melepas pakaian luar mereka. Bahkan ada yang hanya menggunakan cawat saja. Di sinilah tato dimanfaatkan. Bagi mereka, menato adalah cara alternatif untuk menyembunyikan dan memperindah kulit telanjang mereka.
Tato naga disukai sebagai semacam jimat, mungkin karena naga secara tradisional dipercaya membawa hujan.
Tato kemudian berevolusi dari karakter dan simbol sederhana menjadi gambar yang lebih besar dan rumit. Seniman tato profesional (horishi) harus meningkatkan keterampilannya.
Pada paruh pertama abad ke-19, seniman ukiyo-e Utagawa Kuniyoshi melukis pahlawan dari novel klasik Tiongkok. Ia menambahkan tato di sekujur tubuh sang pahlawan itu. Artis lain, seperti Utagawa Kunisada, memanfaatkan tren tersebut. Ia membuat lukisan aktor kabuki populer yang menampilkan tato.
Pada tahun 1860-an, aktor kabuki terkemuka muncul dalam kimono yang dilukis dengan pola seperti tato saat mereka membintangi drama. Sebagian besar berkat pengaruh ukiyo-e dan kabuki, tren tato makin berkembang. Saat itu, tato besar dan rumit di sekujur tubuh pun disukai di abad ke-19.
Lalu apakah samurai juga memiliki tato di tubuhnya?
Perlu dicatat bahwa samurai tidak pernah melakukan praktik tato. Alasannya karena samurai terikat oleh aturan Konfusianisme yang tidak menyebabkan cedera pada tubuh sendiri.
Selain itu, banyak orang awam yang menganggap praktik tersebut tidak menyenangkan atau tidak pantas. Pasalnya, penjahat kadang-kadang dihukum dengan membuat tato di lengan atau dahi mereka (praktik yang dimulai pada 1720).
Keshogunan Tokugawa secara berkala mengeluarkan dekrit yang membatasi pembuatan tato, tetapi tidak banyak berpengaruh. Ledakan tren tato memuncak pada paruh kedua abad ke-19.
Praktik tato dilarang di Era Meiji
Restorasi Meiji di tahun 1868 membawa begitu banyak perubahan. Salah satunya adalah Kekaisaran Jepang membuka pintu bagi dunia. Pejabat asing, pelancong, dan pelaut pun berbondong-bondong mengunjungi Jepang.
Pelancong itu pun berbagi pengalaman mereka. Mereka umumnya menyoroti aspek-aspek masyarakat Jepang yang dianggap eksotis atau mengejutkan oleh orang Barat pada era Victoria. Seperti pemandian umum campuran atau pemandangan pria berjalan-jalan di kota hampir telanjang dengan tato seluruh tubuh.
Takut memicu persepsi tentang Jepang sebagai kekaisaran yang terbelakang, pemerintah Meiji melarang praktik tato dekoratif pada 1872. Undang-undang tersebut tidak mengakhiri praktik tato di antara sektor-sektor masyarakat yang mengakar kuat. Namun larangan itu dikombinasikan dengan norma yang menentang kebiasaan telanjang di tempat umum. Akhirnya, irezumi atau tato pun mulai disembunyikan.
Pada awal abad ke-20, tato Jepang benar-benar hilang di bawah lapisan pakaian. Ironisnya, kondisi ini membuat irezumi seakan menjadi sesuatu yang mistik, indah namun tersembunyi dari pandangan.
Lalu bagaimana dampak larangan tato ini bagi orang Ainu dan Ryuku? Para wanita diwajibkan untuk meninggalkan adat yang merupakan bagian dari warisan budaya mereka. Untuk sementara, beberapa terus mendapatkan tato secara rahasia.
Ironisnya, pihak berwenang menangkap orang karena mengikuti kebiasaan “biadab dan terbelakang” ini. Bila tertangkap, tato dihilangkan melalui pembedahan atau dengan asam klorida. Saat ini, praktik dan jejak terakhir dari tato telah hilang dari kedua budaya tersebut.
Terlepas dari intoleransi pemerintah Meiji terhadap irezumi, horishi atau ahli tato Jepang terkenal secara internasional karena keahlian mereka. Orang asing yang mengunjungi Jepang membuat tato eksotis sebagai suvenir.
Surat kabar Amerika dan Inggris menggelitik keingintahuan publik dengan kisah para pelaut dan pelancong. Mereka menceritakan pengalaman membuat tato di Jepang di masa itu. Ini membuat para seniman tato pun melebarkan sayap hingga ke luar negeri.
Karena menato adalah ilegal di Jepang, horishi dipaksa membuka toko sebagai pelukis atau pembuat lentera. Lalu mereka membuat tato di ruang belakang, jauh dari pengawasan polisi. Namun karena kebebasan berkarya dikekang, para seniman pun beremigrasi. Mereka pindah ke tempat-tempat seperti Hong Kong, Singapura, Filipina, Thailand, India, Inggris, dan Amerika Serikat.
Namun tidak seperti di Jepang, sebagian besar pelanggan di luar negeri lebih menyukai jenis tato kecil dan sederhana. “Bagi para horishi, pekerjaan ini sedikit membosankan dan mungkin kurang menantang,” jelas Yoshimi.
Keluar dari bayangan
Larangan terhadap tato benar-benar dicabut pada tahun 1948 di bawah pendudukan Amerika Serikat setelah Perang Dunia II. Dengan pangkalan militer AS bermunculan di sekitar Jepang, pembuat tato Jepang mulai melayani prajurit Amerika. Seniman tato terutama bekerja di sekitar pangkalan angkatan laut di Yokosuka.
Meskipun permintaan sangat besar untuk desain barat, para seniman tato Yokosuka menjalankan bisnis yang berkembang pesat. Hal ini terutama berlangsung selama perang Korea dan Vietnam.
Namun, baru pada tahun 1970-an horishi Jepang benar-benar mulai muncul dari bayang-bayang. Saat itu, buku dan pameran dibuat khusus untuk memamerkan seni mereka.
Pada 1980-an, tato mulai populer di kalangan band rock Amerika dan Inggris. Pengaruh mereka menyebabkan lonjakan minat di kalangan pemuda Jepang. Seiring popularitas tato menyebar, anak muda Jepang menemukan kembali daya tarik irezumi tradisional Jepang.
Di masa lalu, tato digunakan sebagai ritual. Lalu di Jepang modern, tato menjadi pernyataan mode di berbagai kalangan.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR