Pada awalnya, gagasan utamanya adalah kebutuhan untuk memproduksi batu plastik yang bersumber dari sampah plastik. Aspek keberlanjutan proyek ini terkait masyarakat yang mendapatkan penghasilan dari produksi batu plastik ini dengan menjualnya. Proyek ini pun menjadi ekonomi sirkular, bukan sekadar romantika, sehingga bisa memperbaiki penghidupan masyarakat sekitar.
Ingo Schöningh, Kepala Program Budaya Goethe-Institut Indonesien, mengatakan bahwa monumen ini merupakan salah satu cara terbaik untuk menampilkan hubungan antara memajukan budaya keberlanjutan dan keberlanjutan budaya. "Kita menggunakan pendekatan budaya dalam kerja sama dengan negara lain, khususnya Indonesia, untuk mempercepat keberlanjutan dan merawat wacana yang sesungguhnya."
Saya pun bertanya kepada Ingo, kapan proyek panjang ini akan ditargetkan selesai?
"Saya berharap proyek ini tak pernah berakhir," ujarnya. "Ini merupakan proyek berkelanjutan, bahkan ketika kita tidak mendapat pendanaan lebih, maksud saya kita memang memerlukan pendanaan saat ini untuk menyelesaikan bangunan ini. Akan tetapi, kami tidak pernah menganggapnya berakhir."
Monumen yang masih dalam tahap pembangunan ini merupakan purwarupa ekonomi sirkular. Kelak tempat ini menjadi ajang kreativitas, harapan, tantangan untuk masa depan yang lebih baik. "Saya sangat optimistik perihal ini," imbuhnya.
Ina Lepel, Duta Besar Jerman untuk Indonesia, yang selalu ramah dan berseri-seri, memberikan sambutannya pada acara peluncuran pra-resmi Monumen Antroposen.
"Saya akan memberi penekanan pada istilah ekonomi sirkular yang berkait dengan plastik dan limbah plastik," ujar Ina. "Karena sebagian besar dalam bekerjanya ekonomi sirkular adalah soal perubahan persepsi kita tentang plastik, baik dari sudut pandang produsen maupun konsumen."
Dia menambahkan bahwa monumen ini merupakan bentuk "kerja sama Indonesia dan Jerman di berbagai tingkat dan memiliki inisiatif untuk menyelesaikan tentangan untuk pengelolaan sampah yang lebih efektif. Kita bersama memperbaiki kerangka kerja, baik di tingkat nasional maupun sub-nasional, kami berinvestasi pada infrastruktur ramah lingkungan."
Ina turut menyampaikan selamat atas gagasan yang luar biasa ini. Harapannya, "Monumen Antroposen mampu dalam membangun pusat ekonomi kreatif dan terbukanya dukungan atas masa depan yang lestari."
Monumen ini mengajak kita untuk menantang mentalitas gaya hidup yang telah kita anut. Pemahaman ini akan mendorong kita untuk kembali ke akar kita, membina hubungan baik dengan alam dan warisan budaya.
"Apa yang kami lakukan di Monumen Antroposen adalah semacam tetenger peradaban, yang mudah-mudahan dampaknya bisa membangun ekonomi berkelanjutan dengan produksi batu [plastik] ini," kata R.M Altiyanto, Ketua Yayasan Monumen Antroposen Yogyakarta. Menurutnya, semua tergantung kepada masyarakat, apakah batu-batu plastik itu untuk kepentingan karya seni atau bagian dari bisnis industrial.
"Tetapi, Monumen Antroposen memang mengarahnya betul-betul didedikasikan kepada seni dan budaya sehingga ruang ini bisa menjadi ruang seni dan edukasi," ujar Alti. "Ya mudah-mudahan bisa dikembangkan sendiri oleh masyarakat."
Menurutnya, masalah sampah telah menjadi problem global yang memiliki dinamika yang pesat belakangan ini. Atas hal ini Alti dan tim kurator mencari strategi pada tahap awal untuk membuat masyarakat bisa peduli dan kemudian berpartisipasi.
"Kita harus bisa meyakinkan dari segi kemanfaatannya pada publik atau masyarakat," ujarnya. "Tentu saja kemanfaatan itu dengan tahapan-tahapan, tidak hanya kerja kreatif tetapi juga bagaimana bisa punya pendekatan sosial yang tentu di setiap lininya berbeda-beda."
Histori dan penanda peradaban
Alti mencoba menyingkap jejak histori Desa Bawuran yang menjadi tempat pembangunan monumen ini. Menurut penelusurannya, kawasan desa ini dan kawasan Piyungan merupakan tanah yang tua dan pernah dilalui aliran sungai purba. Letaknya di lembah sisi selatan Monumen Antroposen.
Hari ini sungai purba itu tak mengalir lagi. Dia menambahkan bahwa sungai purba itu terkait erat dengan keberadaan Candi Ratu Boko, yang menurutnya merupakan tempat perabuan para raja. "Ketika melarung, abu jenazah para raja melalui jalur sungai purba tersebut, salah satunya melewati wilayah Bawuran ini. Itu historinya yang lampau."
Alti juga memaparkan histori yang lebih muda tentang kawasan ini. Kawasan Bawuran dan Piyungan pernah menjadi bagian pusat kota di era ibu kota kerajaan Mataram di Plered.
"Sebetulnya banyak sekali tumpukan peradaban di kawasan ini," kata Alti. "Ketika kali ini ada monumen plastik, saya kira dengan keyakinan bahwa karya seni adalah wajah peradaban, ya mudah-mudah monumen Antroposen juga menjadi penanda peradaban kini."
Setiap peradaban akan menyisakan jejak kebudayaan, yang menurut Alti, peradaban itu bagian dari siklus zaman. Kemudian dia mengungkapkan sebuah paradoks yang menyadarkan kita betapa manusia telah memberi dampak terhadap geologi dan ekologi global. "Jika nenek moyang kita bisa membuat penanda peradaban seperti candi-candi dengan batu, kita sekarang membuat penanda peradaban dalam era plastik."
Saya teringat penari-penari Jathilan yang berlenggak-lenggok seperti penari tandak namun tetap garang seperti laga prajurit di medan perang.
Hari ini Jathilan telah dikemas ulang yang disesuaikan dengan kebutuhan perhelatan—tidak ada atraksi kuda lumping makan beling, penari yang kesurupan, dan lecutan cemeti.
Barangkali inilah kesenian yang menyesuaikan perkembangan zaman supaya tetap langgeng, seperti yang dikatakan Alti bahwa seni adalah wajah peradaban.
Kuda lumping bisa dimaknai sebagai lambang perlawanan terhadap ketidakselarasan atau keserakahan—sisi gelap manusia. Barangkali, perlawanan itu serupa dengan perlawanan kita atas laju memburuknya kualitas lingkungan. Serupa hasrat dalam perlawanan, semuanya harus bermula dari perubahan diri sendiri.
Ketika pentas mereka berakhir, seluruh pengiring tetabuhannya bersama-sama dengan lantang berseru tentang ajakan pelestarian, "Dikemonah sampahe, resik donyane!"—dikelola sampahnya, bersih dunianya.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR