Nationalgeographic.co.id—Sejarah samurai di Kekaisaran Jepang dipenuhi dengan pertempuran dan konflik. Ada banyak kisah epik tentang pertumpahan darah, keberanian dan pengkhianatan di masa lalu.
Dari konflik antar klan hingga duel Miyamoto Musashi, berikut kisah pertarungan legendaris para samurai di Kekaisaran Jepang.
Pertempuran Dan-no-ura untuk menentukan siapa yang berkuasa di Kekaisaran Jepang
Pertempuran samurai yang menandai berakhirnya Periode Heian dan awal Era Kamakura terjadi di Dan-no-ura pada tahun 1185. Pertempuran tersebut merupakan puncak dari konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade antara Klan Minamoto dan Taira.
“Tujuannya adalah untuk menentukan siapa layak yang memerintah Kekaisaran Jepang,” tulis Matthew Hernon di laman Tokyo Weekender.
Taira no Kiyomori memegang kekuasaan setelah mengalahkan Minamoto selama pemberontakan Hogen (1156) dan Heiji (1159-60). Anggota keluarga Minamoto yang masih hidup diusir dari ibu kota Kyoto. Namun mereka bangkit kembali dan memicu Perang Genpei (1180-1185).
Selama konflik, Taira terpaksa mundur dari Kyoto ke Ichi-no-Tani dekat Kobe. Klan tersebut menderita kekalahan krusial pada tahun 1184. Keadaan menjadi lebih buruk setahun kemudian. Di lepas pantai Dan-no-ura, Minamoto mengalahkan saingan mereka.
Arus berbalik melawan Taira dan beberapa tentara mereka membelot. Kaisar Antoku yang berusia 6 tahun pun ditenggelamkan oleh sang nenek agar tidak ditangkap oleh pasukan lawan.
Perang saudara telah usai, meskipun Minamoto no Yoritomo baru secara resmi diangkat menjadi shogun pada tahun 1192.
Pertempuran Minatogawa
Kusunoki Masashige dihormati sebagai salah satu samurai terhebat di Kekaisaran Jepang. Pengabdian dan kesetiaannya yang tak tergoyahkan kepada kaisar akhirnya menyebabkan kematiannya di Pertempuran Minatogawa.
Ahli strategi terkenal ini adalah tokoh kunci dalam Restorasi Kenmu ketika Kaisar Go-Daigo menggulingkan Keshogunan Kamakura. Saat itu, Keshogunan Kamakura telah berkuasa di Kekaisaran Jepang selama hampir 150 tahun.
Sang kaisar berniat untuk mengembalikan kekuasaan kekaisaran di Jepang setelah Perang Genko (1331-33). Go-Daigo sendiri kemudian digulingkan 3 tahun kemudian. Hal itu terjadi karena kebijakannya mengecewakan para pendukungnya. Di sisi lain, dia tidak sepenuhnya menghargai samurai yang telah berjuang untuknya.
Salah satu yang melawannya adalah jenderal agungnya Ashikaga Takauji. Sang jenderal membalas dendam dengan mengkhianati kaisar pada tahun 1335. Takauji kemudian memimpin pasukannya melawan loyalis kekaisaran, termasuk Masashige dan samurai Nitta Yoshisada.
Ketika klan Ashikaga mengepung Kyoto pada musim panas tahun 1336, Go-Daigo memerintahkan pasukannya untuk terlibat dalam pertempuran sengit. Hal ini terjadi meskipun Masashige menyarankan untuk bersembunyi di pegunungan. Setelah itu, mereka bisa menjebak para pemberontak di kota sambil mengganggu jalur pasokan mereka.
Dia tahu para loyalis tidak mempunyai peluang untuk menang dengan taktik Go-Daigo. Namun ia tetap berjuang dan melakukan pengorbanan terbesar demi pemimpinnya.
Insiden Honno-ji dan Pertempuran Yamazaki
Periode Sengoku (1467-1603) dikenang karena serangkaian pertempuran samurai yang epik. Di masa itu, perang saudara terjadi terus-menerus.
Dalam beberapa pertempuran legendaris, Oda Nobunaga menjadi pemenang di Okehazama, Anegawa dan Nagashino. Kemenangan taktis Takeda Shingen atas pasukan Tokugawa Ieyasu di dataran Mikatagahara pada 1573 juga terus dikenang dalam sejarah.
Bagi Toyotomi Hideyoshi, keberhasilan paling menonjol di medan perang terjadi saat melawan pasukan Akechi Mitsuhide. Pertempuran Yamazaki terjadi pada 2 Juli 1582, tidak lama setelah kematian Nobunaga.
Daimyo terkuat di Kekaisaran Jepang itu disergap saat sedang beristirahat di Kuil Honno-ji di Kyoto. Dia kemudian bunuh diri dengan seppuku. Nasib yang sama menanti putra sulungnya Nobutada di Kastil Nijo.
Meskipun tidak membunuh keduanya secara pribadi, Mitsuhide mengaku bertanggung jawab atas kedua kematian tersebut. Ia pun menetapkan dirinya sebagai shogun di Kekaisaran Jepang. Namun, kepemimpinannya hanya bertahan selama 13 hari. Toyotomi membalas kematian tuannya di Yamazaki.
Pasukannya membuat Mitsuhide kewalahan. Toyotomi kemudian mengambil kekuasaan dan wewenang Nobunaga untuk dirinya sendiri.
Pertempuran Sekigahara
Pemerintahan Toyotomi yang bermasalah berakhir pada tahun 1598 ketika ia meninggal karena sebab alamiah. Sesaat sebelum kematiannya, ia menunjuk Dewan Lima Tetua (Tairo) dan Lima Komisaris (Bugyo) untuk menjalankan kekaisaran.
Rencananya, para dewan dan komisaris akana memerintah sampai putranya Hideyori, yang saat itu berusia 5 tahun, mencapai usia dewasa.
Namun hal ini menciptakan kekosongan kekuasaan dan muncul dua pesaing utama: Ieyasu dan Ishida Mitsunari. Yang pertama, dipandang sebagai bupati yang paling berkuasa di antara lima bupati, dengan cepat memposisikan dirinya sebagai shogun berikutnya. Mitsunari, seorang komisaris dan memproklamirkan diri sebagai pelindung Hideyori, membentuk aliansi untuk melawan Ieyasu.
Hal ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1600 di wilayah Sekigahara di Provinsi Mino. Puluhan ribu tentara kehilangan nyawa dalam pertempuran terbesar dan paling berdarah dalam sejarah feodal Kekaisaran Jepang.
Pasukan Mitsunari berada di atas angin hingga pasukan Kobayakawa Hideaki membelot ke pasukan timur. Plot tersebut dibuat Ieyasu sebelum pertempuran dan terbukti menentukan.
Setelah kekalahan tersebut, Mitsunari berusaha melarikan diri tetapi ditangkap oleh penduduk desa dan dipenggal di Kyoto. Keshogunan Tokugawa memerintah Kekaisaran Jepang selama dua setengah abad berikutnya.
Duel Miyamoto Musashi dan Sasaki Kojiro
Jika berbicara tentang pendekar pedang legendaris di Kekaisaran Jepang, ada dua nama yang mendominasi. Yang pertama adalah Tsukahara Bokuden. “Ia dikatakan telah membunuh lebih dari 200 orang dalam pertempuran dan konfrontasi individu,” tambah Hernon.
Kemudian, Miyamoto Musashi mengambil alih gelar sebagai pendekar pedang yang paling ditakuti di Kekaisaran Jepang. Ia terkenal karena teknik bertarung dua pedangnya,
Pertarungan Musashi yang paling terkenal konon terjadi pada tahun 1612 saat melawan Sasaki Kojiro. Lokasinya ditetapkan di Ganryujima, sebuah pulau kecil antara Honshu dan Kyushu, pada pukul 8 pagi. Namun Musashi datang terlambat 3 jam, mungkin untuk membuat marah lawannya.
Taktiknya berhasil. Kojiro yang marah membuang sarungnya ke samping. “Jika sarungmu tidak lagi berguna, kamu sudah mati,” kata Musashi, semakin membuat marah lawannya. Hal ini memprovokasi Kojiro untuk menyerang terlebih dahulu.
Musashi membalas dengan pukulan yang mematahkan tulang rusuk lawannya dan menusuk paru-parunya. Kojiro pun tewas dalam pertarungan tersebut.
Pertempuran Shiroyama
Pertarungan yang menginspirasi adegan terakhir The Last Samurai adalah konflik terakhir dari Pemberontakan Satsuma. Pertarungan tersebut terjadi di Prefektur Kagoshima pada tanggal 24 September 1877.
Pada bulan-bulan sebelumnya, kontingen prajurit samurai Saigo Takamori mengalami kekalahan telak di Kastel Kumamoto, Tabarazuka, dan Gunung Enodake. Hal ini menyebabkan pasukannya terkuras habis dan kehilangan semangat.
Pasukannya telah menyusut dari sekitar 20.000 menjadi 500, dibandingkan dengan 30.000 tentara Kekaisaran Jepang. Namun, dengan berpegang pada kode kehormatan Bushido, mereka menolak untuk menyerah.
Pasukan Takamori mundur ke Satsuma, di mana mereka merebut bukit Shiroyama. Tentara Kekaisaran Jepang membangun serangkaian benteng untuk mengepung mereka.
Setelah menghadapi rentetan artileri pada malam tanggal 23 September, pasukan Takamori melakukan serangan balik keesokan paginya. Mereka menyerang musuh yang tidak terlatih dalam pertarungan pedang jarak dekat.
Para samurai menang, tapi hanya untuk waktu yang singkat. Karena kalah jumlah dan melawan artileri modern, mereka tidak punya peluang.
Takamori melakukan seppuku, dibantu oleh pengikut setianya Beppu Shinsuke, dan seluruh pasukannya tewas segera setelahnya.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR