Kehidupan seorang ronin tidak selalu dihabiskan dalam bayang-bayang. Beberapa mendapatkan pekerjaan di kalangan bangsawan atau pedagang setempat yang membutuhkan keahlian bela diri mereka.
Sebagai tentara bayaran, gaji mereka bervariasi berdasarkan tugas dan kemurahan hati majikan mereka. Meskipun beberapa orang bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan, terutama jika keterampilan mereka tidak ada bandingannya, ada pula yang nyaris tidak mendapat penghasilan.
Sering kali, mereka diberikan perlindungan di barak. Kadang-kadang, penginapan yang lebih permanen jika masa tugas mereka adalah jangka panjang.
Namun, kehidupan seorang ronin tidak pernah aman. Mereka selalu bergantung pada temperamen majikan mereka dan kondisi politik yang selalu berubah. Rasa hormat sulit diperoleh, dan kehormatan mudah hilang.
Ketika tidak dihormati, terutama oleh masyarakat kelas bawah, respons seorang samurai ditentukan oleh kode bushido, meskipun kekerasan langsung tidak selalu menjadi standarnya.
Khususnya, keputusan 47 Ronin untuk melakukan seppuku, ritual bunuh diri, dipandang sebagai tindakan kehormatan, menyoroti kompleksitas seputar samurai dan kode etik mereka.
Di masa damai, beberapa ronin beralih dari menggunakan pedang ke mengolah tanah, dan beralih ke bertani untuk mempertahankan diri. Meskipun ini merupakan perubahan drastis, disiplin dan ketahanan yang tertanam dalam diri mereka menjadikan transisi ini sebagai bukti semangat abadi mereka.
Persepsi Masyarakat terhadap Ronin
Transisi dari samurai terhormat ke ronin sering kali mengubah persepsi masyarakat secara signifikan.
Namun dengan bangkitnya Tokugawa Ieyasu sebagai Shogun pada tahun 1603, praktik yang tadinya dianggap sebagai hal ini mulai putus asa, menyebabkan banyak samurai menerima kehidupan Ronin.
Status baru mereka menempatkan mereka pada posisi unik dalam masyarakat Jepang. Ada yang beradaptasi dengan kehidupan yang lebih tenang sebagai petani atau menganut spiritualitas sebagai biksu, ada pula yang memanfaatkan keterampilan bela diri mereka untuk menjadi pengawal atau tentara bayaran, terutama bagi pedagang kaya yang mencari perlindungan.
Namun, sudut pandang masyarakat tidak selalu optimis. Ada sisi yang lebih jahat, dengan beberapa ronin membentuk geng dan menyelidiki dunia bawah tanah perjudian dan rumah bordil.
Kita tidak dapat mendiskusikan dampak sosial dari Ronin tanpa menyebutkan kisah 47 Ronin yang terkenal dari tahun 1703. Kisah kehormatan dan balas dendam ini, di mana para samurai membalas kematian tuan mereka dengan menghadapi Kira Yoshinaka, telah bergema di seluruh seni dan sastra Jepang.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR