Nationalgeographic.co.id – Kisah pembantaian kapal budak Zong adalah pengingat mengerikan akan kekejaman yang terjadi selama perdagangan budak transatlantik dalam catatan sejarah. Kisah keserakahan, kekejaman, dan pengabaian terhadap kehidupan manusia.
Zong adalah kapal budak Inggris yang berlayar pada tahun 1781 yang membawa lebih dari 400 budak Afrika dari Gold Coast Afrika Barat ke Karibia. Namun pelayaran yang tadinya mengerikan berubah menjadi mimpi buruk yang lebih brutal ketika kapal kehabisan air dan perbekalan.
Dalam tindakan yang sangat tidak berperikemanusiaan, para awak kapal memutuskan untuk membuang lebih dari 130 budak Afrika yang sakit dan lemah ke laut, dengan menyatakan bahwa mereka tidak lebih dari sekedar kargo.
Tragedi ini memicu kemarahan dan memainkan peran penting dalam perjuangan melawan perdagangan budak. Zong pada awalnya dibangun di Belanda, tetapi ditangkap oleh Inggris dan dioperasikan di Liverpool, Inggris, pada tahun 1777.
Zong menjadi kapal khas pada masanya, yang dirancang untuk mengangkut budak Afrika dari Afrika ke Amerika, tempat mereka akan dijual sebagai budak.
Kapal itu dimiliki oleh konsorsium pedagang Liverpool, yang telah berinvestasi dalam perdagangan budak sebagai usaha bisnis yang menguntungkan.
Sebelum peristiwa mengerikan yang terjadi pada pelayarannya pada tahun 1781, suku Zong telah melakukan sejumlah kecil pelayaran perdagangan budak yang sukses.
Namun, perjalanan terkenal suku Zong pada tahun 1781, ketika lebih dari 130 orang Afrika yang diperbudak dibuang ke laut, telah menjadi peristiwa sejarah yang paling terkenal.
Pembantaian Kapal Budak Zong
Zong berlayar dari Accra, di Gold Coast Afrika Barat, pada bulan Agustus 1781. Kapal itu membawa lebih dari 400 budak Afrika, yang akan dijual di Karibia.
Perjalanan tersebut diperkirakan memakan waktu beberapa bulan. Selama waktu tersebut, para kru harus menjaga para budak tetap hidup dan sehat. Namun segalanya tidak berjalan sesuai rencana. Kapal mengalami cuaca buruk dan kehabisan air serta perbekalan.
Para kru menyadari bahwa mereka tidak akan memiliki cukup makanan dan air untuk menghidupi diri mereka sendiri dan para budak selama perjalanan.
Source | : | History |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR