Nationalgeographic.co.id—Sebuah penelitian yang dipimpin ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkap kondisi kesehatan terumbu karang di Indonesia. Terumbu karang adalah bagian penting ekosistem di wilayah pesisir Indonesia.
Seperti diketahui, Indonesia terletak hampir sempurna di tengah-tengah kawasan Segitiga Terumbu Karang. Kawasan tersebut terkenal sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.
Tentu saja hal ini menjadikan Indonesia sebagai pusat utama pemantauan dan penelitian kelautan, khususnya terumbu karang dan wilayah pesisir.
Namun terumbu karang adalah makhluk yang pertumbuhannya lambat sehingga mengukur kesehatan dan pertumbuhannya pada waktu tertentu bisa jadi sulit.
"Oleh karena itu, kunci keberhasilan pemantauan terumbu karang adalah kumpulan data jangka panjang," tulis peneliti.
"Kumpulan data ini, yang mencakup jangka waktu lebih dari 10 tahun, dapat menunjukkan tren yang menjawab beberapa pertanyaan paling penting tentang kesehatan ekosistem karang."
Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan dengan judul "The Status of Indonesian Coral Reefs 2019" yang diterbitkan oleh Research Center for Oceanography.
Bagaimana kondisi kesehatan terumbu karang? Apakah mereka membaik atau menurun?
Bagaimana karang merespons perubahan spesifik di lingkungan dalam rentang waktu yang berbeda-beda. Misalnya gelombang panas yang singkat atau aktivitas penambangan yang berkepanjangan?
Pada titik manakah, yaitu suhu, tingkat polusi karang tidak dapat pulih lagi?
Selain itu, tren dalam kumpulan data jangka panjang sangat penting bagi pengelola terumbu karang dan pembuat kebijakan. Sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang tepat mengenai cara terbaik untuk bergerak maju.
Pusat Penelitian Oseanografi (RCO) telah menjadi pemimpin dalam pemantauan kondisi terumbu karang di seluruh Indonesia selama 26 tahun terakhir.
Setiap tahunnya, RCO mensurvei 1.151 terumbu karang di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Mereka mengkategorikan kondisi kesehatan terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang keras hidup (HC).
Masing-masing terumbu karang kemudian ditempatkan ke dalam 1 dari 4 kategori. Buruk (bila HC ≤ 25%), Sedang (bila 25% < HC ≤ 50%), Baik (50% < HC ≤ 75%), dan Sangat Baik (bila HC > 75%).
Rincian hasil survei 1.151 terumbu karang Indonesia yang mereka survei pada tahun 2019, yaitu dalam 33,8% dalam kondisi buruk (390 terumbu karang), 37,4% sedang (431 terumbu karang), 22,4% baik (258 terumbu karang) dan 6,4% luar biasa (74 terumbu karang).
Dengan kata lain, hanya sekitar 30% terumbu karang di pesisir Indonesia yang memiliki tutupan karang lebih dari 50% (Baik dan Sangat Baik). Sedangkan 70% sisanya memiliki tutupan karang kurang dari 50% (Buruk dan Cukup Baik).
Meskipun persentase terumbu karang yang buruk telah menurun dari 46% menjadi 34% dalam 26 tahun terakhir, para peneliti memperingatkan: "Bahwa terumbu karang yang buruk mungkin telah mencapai "titik tanpa kembali" dan mungkin akan dibiarkan "mati" karena mereka terpapar oleh stresor kronis yang intens."
Menariknya, kondisi terumbu karang di wilayah pesisir Indonesia sangat bergantung pada letak geografisnya. Perbedaan utama dalam tren kondisi karang dapat dilihat antara terumbu di pesisir Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.
Alasan utama di balik perbedaan-perbedaan ini adalah karena luasnya wilayah pesisir Indonesia, setiap wilayah mempunyai kondisi lingkungan dan faktor polutan antropogenik (yaitu polusi) yang sangat berbeda.
Sehingga menyebabkan beberapa wilayah terkena kondisi yang lebih berbahaya dibandingkan wilayah lainnya.
Indonesia Barat
Di Indonesia bagian barat, kondisi terumbu karang secara umum tampak membaik. Sejak tahun 1993, persentase terumbu karang yang Sangat Baik dan Cukup Baik telah meningkat.
Sedangkan persentase terumbu karang yang Buruk telah menurun hampir 35%. Keberhasilan ini sebagian disebabkan oleh kemajuan besar Indonesia bagian barat dalam meningkatkan keterlibatan dan kesadaran masyarakat.
Misalnya, Indonesia bagian barat telah berhasil mengembangkan pendekatan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat untuk melindungi sumber daya alam ini dari eksploitasi.
Selain itu, praktik eksploitasi ikan yang dulunya umum terjadi di wilayah barat Indonesia, telah beralih ke wilayah timur, sehingga mengurangi jumlah tekanan yang dialami ekosistem karang di wilayah ini.
Meskipun hal ini positif, terumbu karang di Indonesia bagian barat masih menghadapi banyak pemicu stres utama, termasuk pemicu stres dari polutan antropogenik, polusi laut, sedimentasi, dan salinitas rendah.
Indonesia Tengah
Di Indonesia bagian tengah, kondisi terumbu karang membaik hingga tahun 2015, namun kondisinya semakin memburuk dalam 4 tahun terakhir.
Sebelum terjadinya pemutihan global pada tahun 2015, persentase kondisi terumbu karang yang Cukup Baik dan Baik terus mengalami peningkatan.
Namun sejak tahun 2015, persentase terumbu karang yang buruk meningkat hampir dua kali lipat, meningkat dari 21% menjadi 36% dari seluruh terumbu karang di Indonesia bagian tengah.
Indonesia bagian tengah dan barat juga terkena dampak pemanasan suhu laut yang mengalir dari Samudera Hindia setiap 3-7 tahun sekali akibat aktivitas alami El Nino Southern Oscillation (ENSO).
Akibatnya, jika dibarengi dengan pemanasan iklim, polutan antropogenik, pemanasan tambahan ini telah mempercepat penurunan terumbu karang.
Indonesia Timur
Sebaliknya, kondisi karang di Indonesia bagian timur semakin menurun. Sejak tahun 1993, proporsi terumbu karang yang sangat baik terus menurun dari 10% menjadi 4% dan terumbu karang yang baik telah menurun dari 30% menjadi 24%.
Sementara itu, terumbu karang yang cukup besar telah meningkat secara signifikan, dari 23% menjadi 39%.
Terumbu karang yang buruk telah mengalami fluktuasi yang sangat besar, namun saat ini sedikit lebih rendah dibandingkan titik awalnya pada tahun 1993, yang saat ini berada pada angka 34%.
Perbedaan mencolok antara Indonesia bagian timur dengan wilayah barat dan tengah kemungkinan besar berkorelasi. Hal itu berkaitan dengan meningkatnya eksploitasi sumber daya yang dimulai pada awal tahun 2000, ketika berpindah dari Indonesia bagian barat.
Penyebab stres utama lainnya yang mempengaruhi wilayah Indonesia bagian timur adalah rendahnya kesadaran masyarakat. Kemudian lemahnya penegakan hukum dan pengawasan yang memungkinkan terjadinya praktik dan eksploitasi penangkapan ikan yang merusak.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | Research Center for Oceanography |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR