Nationalgeographic.co.id - "Pato, sini Pato!" Teriak mahout kepada seekor gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang sedang digiringnya. Sambil bergerak dengan lambat dan langkah yang berat, Pato mengikuti instruksinya. Mahout yang sedang bersama Pato adalah Mukti Ali Harahap (42). Ia sudah 18 tahun merawat sang gergasi rimba di Pusat Latihan Gajah Minas (PLG Minas), Riau.
Mahout atau yang sering dikenal juga dengan pawang gajah, memiliki kedekatan yang kuat dengan gajah yang diasuhnya. Sebab, satu gajah hanya diasuh oleh satu mahout. Dalam kesehariannya, mahout memiliki beberapa tugas. Di antaranya memberi makan, memandikan gajah, menjaga kesehatan gajah, memberikan pelatihan, atau menunggangi gajah untuk mengerjakan tugas tertentu.
Salah satu tugas yang membutuhkan waktu adalah angon atau menggembala gajah. Di PLG Minas, para mahout mulai melakukan angon saat pukul sembilan pagi. Mereka membawa gajah-gajah ke dalam hutan. Di sana, gajah-gajah akan dibiarkan untuk makan selama dua jam.
Namun, waktu angon bisa lebih lama saat memasuki musim kemarau panjang. Sebab, mereka perlu berjalan jauh ke dalam hutan untuk mendapatkan sumber makanan yang lebih banyak. “Kalau untuk kemarau Panjang, bukan berarti tumbuhan atau rumput tidak ada. Akan tetapi, kita harus semakin jauh (angon) ke dalam hutan,” ungkapnya.
Meski demikian, tugas Ali dan rekan-rekan sebagai mahout tak semata hanya merawat gajah. Mereka adalah salah satu ujung tombak dari mitigasi interaksi negatif manusia dan gajah. Saat terjadi konflik di sebuah desa, ia dan sesama mahout lainnya sering diminta tolong untuk ikut menghalau gajah liar. Bersama warga setempat, mereka bekerja sama supaya gajah tidak merusak kebun atau permukiman.
Peran teknologi turut membantu para mahout untuk melakukan mitigasi. Dahulu, informasi kedatangan gajah hanya berupa lokasi secara umum, sehingga mereka membutuhkan waktu untuk mengira-ngira arah munculnya gajah. “Dulu ada konflik, misalnya di Kecamatan Siak, kan luas. Jadi, untuk mencari gajah, bisa makan waktu lama,” ungkapnya.
Kini, dengan adanya teknologi GPS Collar, proses mitigasi dapat dilakukan lebih cepat. GPS Collar adalah perangkat yang dapat memantau pergerakan gajah dan perilaku dari populasi gajah di habitatnya terkini, melalui sinyal satelit. Berkolaborasi dengan tim Rimba Satwa Foundation (RSF), mahout dan warga setempat akan mendapat informasi titik munculnya sang gajah dari GPS.
“Kalau ada GPS, ada konflik di Kecamatan Siak, tinggal kita lihat saja titiknya di mana. Jadi cara penanganannya cepat,” pungkas Ali sambil tersenyum.
Di akhir percakapan dengan Ali, ia mengaku bangga dengan profesinya sebagai mahout. Gajah yang termasuk hewan buas, membuat satwa ini tidak boleh didekati sembarangan. Namun, profesinya sebagai mahout, memungkinkan ia untuk dapat menyentuh, bahkan merawatnya secara langsung.
Ia juga memiliki harapan dapat terus menyosialisasikan konservasi gajah sumatra bersama PLG Minas. "Kita siap memberikan sosialisasi yang terbaik untuk masyarakat," ungkapnya saat diwawancara oleh tim National Geographic Indonesia. Semoga semakin banyak orang yang peduli dengan hidup gajah sumatra. Mari kita memberi peluang untuk gajah agar dapat hidup lebih baik di masa depan.
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR