Nationalgeographic.co.id—Sebuah penelitian dari Universitas Pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa konsep pendidikan dapat mengendalikan pencemaran di wilayah pesisir. Memasukkan pendidikan kelautan ke dalam kurikulum pendidikan adalah salah satu cara yang tepat untuk mengatasi pencemaran di wilayah pesisir, menurut peneliti.
Nanda Satria dan tim peneliti dari departemen pendidikan Geography, Universitas Pendidikan Indonesia, telah mempresentasikan penelitian mereka di International Conference on Disaster Management (ICDM 2018). Hasil penelitian telah diterbitkan dengan judul "Pollution control in coastal area through Indonesian coastal education concept".
"Sampah menjadi salah satu ancaman serius bagi wilayah pesisir di Indonesia. Serasah tersebut berasal dari berbagai aktivitas antropogenik dan berbagai penggunaan lahan," tulis peneliti.
Peneliti menjelaskan, bahwa Indonesia dinyatakan sebagai negara terbesar kedua setelah Tiongkok dalam penyumbang sampah laut pada tahun 2015. Namun sampah laut di Indonesia, tidak semuanya berasal dari produk dalam negeri.
Di wilayah pesisir Provinsi Aceh terdapat sampah laut yang berasal dari luar negeri. "Salah satu cara yang tepat untuk mengatasi pencemaran di wilayah pesisir adalah dengan memasukkan pendidikan Kelautan ke dalam kurikulum pendidikan," menurut peneliti.
"Untuk mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI meluncurkan model pendidikan pesisir yaitu Pendidikan Pesisir Indonesia."
Untuk itu mereka melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis pencemaran di wilayah pesisir.
Kemudian mereka enyusun langkah-langkah observasi, dan menyusun rencana aksi Indonesia Coastal Education (ICE) dalam mengatasi pencemaran di wilayah pesisir.
"Penelitian ini menggunakan studi literatur dengan mencari referensi teori-teori yang relevan dengan kasus atau permasalahan pencemaran sampah di wilayah pesisir," tulis peneliti.
Sampah Laut
Menurut Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB University, potensi kelautan Indonesia baru termanfaatkan 20% sedangkan sisanya belum tergarap.
Ini merupakan kerugian yang sangat besar, dengan laut yang sangat luas dan potensi yang sangat besar, Indonesia hanya memanfaatkan 20% potensi laut yang dimilikinya, ditambah lagi dengan rusaknya ekosistem laut yang terjadi di setiap wilayah pesisir.
Lebih dari setengah abad kemerdekaan Indonesia, wilayah pesisir dan laut nasional mengalami kerusakan fisik dalam skala yang parah.
Kerusakan tersebut meliputi abrasi dan sedimentasi pantai, penurunan produksi ikan akibat penangkapan ikan yang berlebihan di beberapa lokasi perairan, rusaknya ekosistem terumbu karang dan mangrove, serta rusaknya kualitas air laut akibat pencemaran pantai dan laut.
Bahkan dalam studinya, Jambeck menyebut Indonesia menduduki peringkat kedua terbesar sebagai negara penyumbang sampah laut setelah Tiongkok. Setiap tahunnya Indonesia mampu menyumbang 187,2 juta ton sampah laut.
Sedangkan Tiongkok mencapai 262,8 juta ton. Negara tetangga seperti Filipina berada di peringkat ke-3 dengan produksi sampah laut sebesar 83,4 ton.
Sampah menjadi salah satu ancaman serius bagi wilayah pesisir di Indonesia. Serasah tersebut berasal dari berbagai aktivitas antropogenik dan berbagai penggunaan lahan.
Puntung rokok, berbagai macam plastik, kaca, karet, berbagai macam botol, kemasan makanan, kayu, tekstil, dan logam dapat dengan mudah kita jumpai.
Sampah-sampah tersebut dapat terapung di laut (floatinglitter), terperangkap di dasar laut (benthiclitter) atau tertinggal di tepi pantai (beachlitter).
Sampah di wilayah pesisir dan ekosistem laut tidak hanya menjadi ancaman langsung bagi biota ekosistem tersebut. Akan tetapi juga menurunkan kualitas air yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Pendidikan pesisir
Permasalahan pencemaran sampah laut termasuk sampah laut di kawasan pantai telah menarik perhatian masyarakat dunia.
Pencemaran sampah laut juga merupakan salah satu permasalahan utama yang berkaitan dengan permasalahan kawasan pesisir dan lingkungan laut di Indonesia. Namun kegiatan pengendalian atau pemantauan terkait sampah laut belum dilakukan di Indonesia.
"Oleh karena itu, pembelajaran di sekolah khususnya wilayah pesisir sangat diharapkan mampu memberikan pengetahuan kepada siswa dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga kelestarian wilayah pesisir dari ancaman pencemaran akibat sampah," menurut peneliti.
Dalam konsep pengendalian pencemaran di wilayah pesisir, mahasiswa Pendidikan Pesisir Indonesia diajak untuk melakukan pengambilan data sampah sesuai dengan kriteria NOAA.
Jenis serasah akan ditimbang dan dimasukkan dalam data secara terus menerus dengan rentang waktu pengamatan 1 kali dalam 1 minggu sampai dengan 1 bulan.
Setelah itu, data dianalisis berdasarkan jumlah, produk (dalam/luar negeri), berat (gram), dan jenis polimer plastik (bila memungkinkan menggunakan peralatan dari laboratorium).
Hasil analisisnya akan diajarkan kepada siswa lain atau masyarakat sekitar pantai. Dalam tahap pengajarannya, mahasiswa juga dituntut untuk mengampanyekan budaya zero waste, agar pantai yang ada di kawasan tersebut terhindar dari pencemaran yang membahayakan masyarakat itu sendiri.
"Setelah tahap observasi, analisis dan pengajaran selesai, siswa dituntut untuk merancang suatu tindakan untuk mengurangi pencemaran sampah di pantai," tulis peneliti.
"Tindakan yang dilakukan dapat berupa pengelolaan sampah, kampanye pengurangan penggunaan bahan sekali pakai, atau penyediaan tempat sampah di sekitar pantai."
Source | : | EDP Sciences |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR