Demi dapat bertahan dari krisis, Sutomo turut bekerja untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Hal inilah yang membuatnya putus sekolah setelah memutuskan untuk keluar dari MULO.
Tak berselang lama, keluarganya tetap menginginkan Sutomo untuk melanjutkan sekolahnya. Ia akhirnya melanjutkan pendidikannya selevel sekolah menengah di Surabaya, yakni HBS (Hogere Burger School).
Di HBS, ia menempuh pendidikan selevel sekolah menengah selama lima tahun. Ketika bersekolah di sana, kesadaran Sutomo tentang sistem pendidikan kolonial yang berlaku diskriminatif, semakin menajam.
Sekolah sebagai wadah yang dianggap dewasa, sejatinya masih terjajah dengan stigma kelas sosial. Kaum bumiputera dianggap rendahan, sedang orang Eropa yang lebih didengar suaranya.
Terdapat banyak faktor yang membuatnya tidak nyaman dengan kondisi di HBS, dan itulah yang mendorongnya gagal untuk dapat menuntaskan pendidikannya di sekolah elit di Surabaya itu.
NAmun, kepedulian keluarganya tentang pendidikan, mendorong Sutomo untuk tetap menyelesaikan pendidikan menengahnya. Orang tuanya memahami, gagasan revolusionernya akan semakin matang dan didengar, tatkala Sutomo dapat merengkuh pendidikan tinggi.
Pelbagai cara ditempuh agar Sutomo dapat menyelesaikan studinya. Melalui korespondensi dan keterampilannya dalam tulis menulis, Sutomo berhak untuk menyandang predikat lulus dari HBS.
Selepas lulus dari HBS, kemerdekaan berpikirnya semakin melanglang buana ketika aktif dalam organisasi-organisasi pergerakan. Ia menyibukkan diri untuk andil dalam gerakan sosial kemasyarakatan, kepemudaan, dan perjuangan membela bangsa dan negara.
Dilihat dari semangat mudanya, ia sudah tergabung dalam dunia jurnalistik. Pengalaman pertamanya adalah menjadi kontributor di harian Soeara Oemoem Surabaya pada tahun 1937.
Ia mulai mencurahkan pikiran-pikiran kritisnya di surat kabar tersebut. Hingga pada tahun 1942, ketika Jepang mendarat, ia bahkan pernah dipercaya menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi kantor berita Domei.
Aktivismenya dalam pergerakan kebangsaan, membuatnya disapa bung Tomo oleh segenap rekan seperjuangannya. Setelah kemerdekaan, ia terlibat aktif dalam gelanggang politik nasional hingga terbentur peristiwa mencekam di Surabaya.
Mulanya, muncul berita mengenai mendaratnya sekutu di sejumlah titik di Indonesia. Hal itu diberitakan pertama kali oleh menteri penerangan, Amir Syarifudin dari Jakarta. Bung Tomo beserta rekanannya mulai mengusung rencana.
Source | : | jurnal Rinontje |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR