Nationalgeographic.co.id—Patung tiruan Homo floresiensis terpajang di kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kepala mungilnya menengok ke kanan atas pada Kawasan Sains R.P. Soejono.
"Model [patung] ini dari Jepang," kata Thomas Sutikna, peneliti BRIN yang pernah terlibat penelitian tentang H. floresiensis. "Bagi sayua pribadi, dan juga mungkin teman-teman [peneliti], yang paling cocok dan mendekati itu dari yang dulu dibuat John Gurche."
Thomas menilai, model yang ada di BRIN saat ini terlalu dibuat menyerupai orang Asia. Sedangkan yang dibuat oleh Gurche, cukup mendekati karena bentuknya yang primitif sedikit menyerupai kera. Model itu pernah digunakan sebagai foto sampul National Geographic Indonesia edisi pertama.
Individu H. floresiensis yang dipajang ini berjenis kelamin perempuan. Ia sering disapa sebagai "Mama Flo". Ukuran patung itu serupa dengan aslinya, sekitar 100 sentimeter atau setara dengan pinggang saya saat berdiri di dekatnya. Karena ukurannya, manusia purba dari periode Pleistosen akhir ini lebih dijuluki sebagai Hobbit, ras manusia katai dalam sastra J.R.R. Tolkien.
Kerangka Mama Flo berasal dari Liang Bua, dan bukan satu-satunya H. floresiensis yang pernah ditemukan. Gua Liang Bua berada di antara perbukitan dan rimbunnya pepohonan daerah Kabupaten Manggarai pedalaman dekat Ruteng.
Di masa lalu, lingkungan yang dihadapi Mama Flo dan kawanannya sangat berbeda dengan hari ini. Flores, khususnya di sekitar Liang Bua, merupakan padang rumput yang luas dan hanya ada sedikit pohon yang tinggi menjulang.
Dalam penelitian yang pernah diikuti Thomas, bentang alam berupa padang rumput tropis di Pulau Flores sekitar Liang Bua dipengaruhi iklim di masanya. Penelitian itu dipublikasikan di jurnal Quaternary Science Reviews bertajuk "Homo floresiensis and the late Pleistocene environments of eastern Indonesia: defining the nature of the relationship" tahun 2009.
Indonesia pada periode glasial bersuhu lebih rendah, sehingga menyebabkan curah hujan sekitar lebih rendah, meluasnya padang rumput, dan penyusutan hutan hujan. Fenomena ini bahkan terjadi di Paparan Sunda.
Hal ini membuat kawasan sekitar Liang Bua sebagai habitat terbuka yang tidak hanya dihuni oleh H. floresiensis. Beberapa di antaranya seperti tikus, stegodon (gajah purba), bangau, komodo, dan bahkan burung nasar yang kini hanya ditemukan di luar Indonesia.
Pulau Flores yang tidak begitu besar berada di luar Paparan Sunda dan memiliki lingkungan padang rumput. Lingkungan seperti ini diyakini banyak ilmuwan Homo floresiensis yang membuat ukurannya mengerdil.
Ukurannya yang kecil ini sempat diragukan akan jenisnya yang merupakan manusia purba, anak-anak, atau manusia purba yang sakit, sampai akhirnya dikukuhkan sebagai genus manusia purba baru.
Kenyataan bahwa H. floresiensis adalah manusia purba yang berbeda dari yang lainnya juga dikukuhkan dengan temuan di Filipina. Kerangka manusia kerdil di sana dinamai Homo luzonensis yang sangat mungkin, menurut para arkeolog, berhubungan dengan manusia katai Flores.
"Umur [H. luzonensis] ini tentu mirip dengan yang didapatkan di Liang Bua. Sehingga, dan Homo luzonensis memiliki umur yang sama," jelas Yahdi Zaim, Professor of Paleontology and Sedimentology Institut Teknologi Bandung yang pernah terlibat dalam penelitian langsung.
"Keberadaan Homo floresiensis dan Homo luzonensis menimbulkan permasalahan dalam evolusi, terutama mengenai asal usul dan jalur evolusinya: dari mana asalnya?"
Yahdi menuturkan bahwa kedua manusia katai secara morfologis dan bentuk memiliki kedekatan dengan Homo erectus. Lebih dari 1,5 juta tahun silam, genus ini telah bermigrasi ke Asia Tenggara. Migrasi mereka pun terbatas pada perjalanan darat, sebelum Paparan Sunda tenggelam pada 14.000-7.000 tahun yang lalu.
Di sini masih terdapat celah yang menjadi misteri pada kalangan ahli yang perlu diungkap di masa depan. Sebab, kemampuan teknologi H. erectus sangat terbatas untuk bisa menyeberang ke pulau-pulau kecil di timur Indonesia, termasuk Flores.
Bagaimanapun, Karen Baab dari Department of Anthropology Stony Brook di University Stony Brook menjelaskan di Nature Education, pengerdilan yang dialami H. floresiensis dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Teori ini kerap diadaptasi di seluruh dunia terutama dalam pengerdilan mamalia seperti mamut, gajah, dan primata, dan rusa.
"Dorongan terjadinya pengerdilan pulau sering dikaitkan dengan berkurangnya ketersediaan sumber daya di lingkungan," ungkap Baab. "Apa pun kasusnya, berbadan kecil mungkin lebih menguntungkan di pulau daripada di daratan utama."
Di sekitar Liang Bua terdapat beberapa hewan yang menemani Mama Flo dan bangsanya. Beberapa hewan tersebut diperkirakan hadir di Liang Bua karena menjadi santapan bagi para manusia katai purba atau didomestikasi.
Stegodon adalah salah satunya. Yang menarik, stegodon di Flores yang merupakan mamalia purba serupa gajah, berbeda dengan di luar Flores. Makhluk tingginya kurang lebih seperti kerbau hari ini, sekitar 120 sentimeter. Ukurannya lebih kecil daripada stegodon yang pernah ditemukan di kepulauan Indonesia bagian barat yang mencapai tiga meter.
Namun, kenyataannya di lapangan mungkin sedikit berbeda dari teori pengerdilan. Makhluk yang mengerdil hanya H. floresiensis dan stegodon. Spesies lainnya yang hidup di sekitar Liang Bua berukuran besar daripada hari ini.
Tikus yang menghuni Liang Bua sudah ada sejak Zaman Pleistosen akhir hingga Holosen. Jangan salah sangka, tikus ini sekitar Liang Bua berukuran besar, dan tinggal lebih dulu di sana sebelum H. floresiensis.
Ada pula komodo purba pernah hidup berbagi lingkungan dengan H. floresiensis. Bisa jadi, komodo adalah predator pesaing H. floresiensis. Tak jarang juga Mama Flo dan kawanannya memiliki berbagai perkakas batu kecil yang digunakan melindungi diri dari predator seperti komodo, atau untuk berburu.
Selain itu, burung bangau yang sezaman dengan H. floresiensis lebih besar daripada sekarang. Tinggi mereka bisa mencapai sekitar 1,6 meter atau seukuran manusia hari ini menyusut. Meski terlihat ukuran tulangnya besar, mereka dapat terbang tinggi dengan sayapnya yang terbentang luas.
Burung bangau raksasa menjadi saingan utama burung nasar sebagai predator. Keduanya diperkirakan saling berebut mangsa yang sama: anak stegodon yang masih muda.
Masih belum bisa tergambarkan dengan jelas bagaimana proses pengerdilan H. floresiensis dan berbagai sepesies yang hidup di sekitarnya. Melalui pertemuan Commemoration of the 20th Anniversary of Homo Floresiensis Discovery, Thomas mengajak peneliti di luar BRIN bisa turut terlibat dalam riset koleksi dalam kolaborasi.
Para peneliti masih dalam upaya agar dapat mengekstrak rangkaian genetika dari H. floresiensis. Dari sini, para ilmuwan dapat megnetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam rantai evolusi yang menghubungan H. erectus dan hobbit yang 'tersasar' di Pulau Flores tersebut.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR