Nationalgeographic.co.id—Sumber pangan kita di peternakan menyumbang 14,5 persen emisi gas rumah kaca, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Penyumbang terbesarnya berasal dari sapi yang jumlah emisinya dua pertiga dari yang dihasilkan peternakan.
Tidak hanya sapi, gas rumah kaca metana dapat dihasilkan dari hewan ternak lainnya seperti domba dan kambing. Perut besar sapi adalah habitat bagi miliaran mikroorganisme. Salah satu di antaranya disebut metanogen yang menghasilkan gas metana ketika membantu pencernaan sapi, kambing, dan domba dari pakan. Gas metana kemudian keluar melalui sendawa mereka.
Alhasil, sebagai upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang mendorong perubahan iklim, banyak dari kita yang mengubah dietnya, seperti menjadi vegetarian. Masalahnya, mengganti diet belum tentu dapat dilakukan oleh semua orang. Terlebih, sebagai makhluk omnivora, memerlukan protein dan zat hewani penting lainnya.
Alih-alih mengubah pola diet kita, para ilmuwan punya gagasan lain dengan mengubah pola diet hewan ternak. Pola dietnya diubah dengan bahan dasar rumput laut. Jenis rumput laut tertentu punya senyawa khusus yang melemahkan kemampuan mikroba penghasil metana.
Sebuah studi di PLOS One tahun 2021 mengungkapkan, rumput hijau merah (Asparagopsis taxiformis) dapat dimanfaatkan dalam mengurangi emisi metana peternakan. Jumlahnya berkurang sebesar 50 persen pada sapi perah, jika diberi rumput laut A. taxiformis.
Para peneliti, dikutip dari The Conversation, menjelaskan bahwa pola makan sapi dari kandungan rumput laut dapat mengubah pakan menjadi berat badan 20 persen lebih efisien dari biasanya. Dengan demikian, jumlah pakan di pasar dapat lebih hemat untuk di bawa ke peternakan.
Melansir The Guardian, Ermias Kebreab, penulis senior makalah tersebut dari University of California mengatakan, "Kami sekarang memiliki bukti kuat bahwa rumput laut dalam pakan ternak efektif dalam mengurangi gas rumah kaca, dan efektivitasnya tidak akan berkurang seiring berjalannya waktu."
Pengetahuan ini membuka perdebatan bagi kalangan ilmuwan sebagai solusi mengurangi emisi gas rumah kaca. Jika cara ini diterapkan, diperlukan A. taxiformis yang dibudidaya karena banyaknya jumlah sapi peternakan di seluruh dunia.
Masalahnya, A. taxiformis lebih banyak ditemukan tumbuh di Australia. Mengirimnya dalam jumlah besar ke peternakan di seluruh dunia dapat mengganggu pertumbuhan rumput laut itu sendiri. Belum lagi, emisi karbon yang akan dihasilkan dalam ekspedisi pengiriman.
Selain itu, jika A. taxiformis dibudidayakan di laut tertentu dapat menjadi spesies invasif. Sementara jika rumput laut tersebut dibudidaya dalam ruangan, jejak karbon yang dihasilkan akan sangat tinggi.
"Pertanyaannya adalah, apakah ada spesies rumput laut yang berasal dari berbagai wilayah di seluruh dunia ... yang dapat diproduksi dalam skala yang diperlukan untuk memberi makan ribuan ekor sapi yang kita hasilkan?" kata Nichole Price, dikutip WBUR.
Source | : | Wired,The Conversation,WBUR.org,The Guardian |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR