Di Avignon, ketika mereka kehabisan tanah untuk menguburkan mayat, Paus menguduskan Sungai Rhone. Dan orang mati dibuang ke dalam sungai.
Mengumpulkan mayat: pekerjaan pekerjaan kelas bawah yang tidak diinginkan
Sebelum terjadinya wabah, Eropa memiliki upacara pemakaman yang rumit. Boccaccio menulis bahwa peti mati seharusnya dipikul di pundak rekan-rekannya. Mereka dibawa ke gereja yang dipilihnya sebelum kematiannya.
Begitu banyak orang mati dan sekarat dan begitu banyak orang lain yang takut jatuh sakit. Maka upacara pemakaman tidak bisa dilakukan.
Sebaliknya, Boccaccio menjelaskan, jenazah diangkut oleh petugas pengangkut mayat yang berasal dari kalangan bawah. Mereka disewa atau dibayar untuk melakukan tugas tersebut.
Di satu sisi, pengumpul mayat adalah ‘pengusaha’ yang melihat peluang untuk menghasilkan uang selama krisis terburuk dalam sejarah dunia.
Reputasi buruk para pengumpul mayat
Tidak ada seorang pun yang ingin melihat seorang pengumpul mayat di luar rumahnya. Di Florence, kelompok penggali kubur yang menggunakan sekop yang dikenal sebagai becchini berkeliaran di jalanan.
Karena pekerjaan tersebut sangat tidak diinginkan, para pengangkut mayat ini mendapat banyak uang. Kabarnya, uang itu kemudian digunakan untuk membeli minuman beralkohol. Mereka berbau busuk karena kematian dan memperoleh penghasilan lebih banyak daripada yang pernah mereka peroleh sebelumnya.
Beberapa pengumpul mayat menyalahgunakan posisi mereka dengan meminta suap sebelum mengangkut jenazah. Yang lain dilaporkan suka minum dan menyerang orang yang tidak bersalah. Lebih buruk lagi, beberapa pengumpul mayat masuk ke rumah-rumah dan mengancam akan membunuh jika tidak dibayar.
Para pengumpul mayat yang pantang menyerah
Selama Wabah Hitam, dunia hancur berantakan. Para biarawan berjatuhan, sampai-sampai tidak ada lagi yang tersisa untuk melaksanakan upacara pemakaman. Di biara-biara di Marseilles dan Carcassonne, setiap biarawan meninggal akibat wabah.
Yang lebih buruk lagi, setiap ikatan keluarga putus. Saudara laki-laki ditinggalkan oleh saudara laki-lakinya, keponakan laki-laki oleh pamannya, saudara laki-laki oleh saudara perempuannya. Hampir tidak dapat dipercaya, para ayah dan ibu ditemukan menelantarkan anak-anak mereka sendiri. Tanpa perawatan, tanpa kunjungan. Keluarga bak orang asing.
Meski ikatan kekerabatan putus, masyarakat Eropa dapat mengandalkan satu kelompok selama wabah terjadi. Mereka adalah para pengumpul mayat yang selalu ada di sana untuk berseru, “Keluarkan jenazah kalian!”
Source | : | Ranker |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR