Nationalgeographic.co.id—Di Rusia era Stalin, jutaan orang ditahan dan dipaksa bekerja di kamp-kamp Gulag. Sekitar 15% dari seluruh populasi Uni Soviet antara 1930 dan 1950 telah ditahan di gulag. Dua juta orang tak pernah keluar.
Gulag adalah kamp kerja paksa, semacam penjara terbuka. Pada awalnya, kamp-kamp tersebut berada di dekat atau bahkan di pusat-pusat kota besar.
Namun, ketika diketahui bahwa hal ini berdampak buruk bagi moral dan hubungan internasional mereka, gulag-gulag tersebut disingkirkan ke daerah-daerah terpencil di Uni Soviet. Siberia adalah yang paling terkenal.
Bagi sebagian orang, gulag lebih baik daripada sel kecil tanpa jendela yang telah mereka jalani selama berbulan-bulan. Namun, bagi sebagian besar orang, penjara ini bak neraka. Sedikitnya pengawasan dari dekrit Moskow menyebabkan penyiksaan di dalam Gulag.
Dilansir dari laman Big Think, Jonny Thomson menjelaskan, “para komandan kamp yang ditempatkan ratusan mil dari Politbiro diberi kebebasan untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan.”
Dan, seperti yang sering terjadi, kekuasaan yang tak terkendali mengungkapkan sifat terburuk manusia. Orang-orang dibiarkan mati kedinginan.
Hukuman yang umum dilakukan adalah menyuruh para tahanan berjalan sejauh 2 km menuju pemandian, dalam suhu di bawah nol derajat Celcius, dalam keadaan telanjang bulat.
Para tahanan sengaja diberi daging busuk, penyakit berarti kematian. Para pekerja harus menggali parit di tanah yang membeku hanya dengan menggunakan tangan.
Para perempuan diperkosa. Anak-anak dibiarkan kekurangan gizi. Laki-laki dipukuli, hanya sekadar untuk bersenang-senang.
Sepanjang sejarah pengasingan selalu menjadi bentuk hukuman yang paling pahit dan kejam. Bahkan tanpa adanya kebrutalan seperti di Gulag.
Kenyataan Pahit dari Pengasingan
Manusia memiliki sejarah panjang dalam membuang para penjahat mereka. Kekaisaran Romawi dan Yunani akan mengirim para pembangkang mereka ke koloni-koloni yang jauh.
Orang-orang Yahudi dalam Perjanjian Lama menghabiskan 70 tahun dalam pembuangan di Kota Babel. Inggris mengirim narapidana mereka ke Australia, dan Prancis mengirim narapidana mereka ke Guyana.
Saat Indonesia masih menjadi bagian dari Hindia Belanda, praktik pengasingan atau "hukuman buang" sering digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, praktik pengasingan juga terjadi selama masa Orde Baru di Indonesia (tahun 1960-an hingga 1990-an).
“Sebagai bentuk hukuman, pengasingan sudah ada sebelum catatan sejarah. Bahkan, Adam dan Hawa pun diasingkan dari Taman Eden,” kata Thomson. “Baru pada abad terakhir ini kita memutuskan untuk tidak membuang tahanan.”
Lantas mengapa pengasingan menjadi hukuman yang ditakuti dan kejam? Pembuangan tidak hanya berarti pindah ke kota yang jauh, namun itu juga berarti tidak pernah melihat atau mendengar kabar dari keluarga lagi.
“Anda tidak akan berada di sana pada saat kematian ibu Anda. Anda akan merindukan pernikahan putri Anda atau pekerjaan pertama putra Anda. Istri Anda akan tinggal bersama orang lain,” kata Thomson.
Pengasingan juga biasanya tidak untuk liburan yang indah. Sebagai contoh, Ovid sang penyair Romawi diasingkan ke sebuah pelabuhan yang terik dan penuh dengan penyakit di Laut Hitam.
Karena orang buangan hampir selalu merupakan penjahat (menurut hukum di wilayahnya), mereka sering dicap sebagai representasi kejahatan. Ketika para buangan kembali, seperti yang dilakukan sebagian besar dari mereka, mereka kemudian dijauhi oleh masyarakat.
Di masa Kekaisaran Rusia, misalnya, para pencuri akan diberi tato dengan huruf B (untuk menandai pencuri) atau Б (untuk perusuh) di pipi atau dahi mereka. Sejak pertengahan abad ke-18, semua penjahat dan orang buangan Rusia dicap dengan cara ini.
Kehidupan di Dalam Gulag
Melalui Gulag, kita bisa melihat mengapa pengasingan di penjara terbuka adalah bentuk hukuman yang kejam. Ketika seseorang diasingkan, mereka biasanya tidak diterima di kota atau negara lain.
“Hidup di pengasingan, Anda harus selalu waspada terhadap kekerasan yang brutal, tak terduga, dan dapat mengubah hidup Anda kapan saja,” kata Thomson. “Di pengasingan, satu-satunya aturan adalah bertahan hidup.”
Orang-orang buangan tak hanya terputus dari teman-teman mereka, tetapi juga terputus dari hubungan antarmanusia. Di gulag, orang-orang belajar untuk saling takut dan saling memukul.
“Banyak yang berpendapat bahwa gulag-gulag Rusia berfungsi sebagai sekolah dan tempat pelatihan bagi para mafia yang mendominasi masyarakat Rusia sejak 1980-an dan seterusnya,” jelas Thomson.
Para komandan sering menjalankan gulag dengan sistem yang dikenal sebagai "skala makanan". Ini adalah aturan yang dipopulerkan oleh Naftaly Frenkel, di mana para tahanan diberi makanan yang sebanding dengan pekerjaan mereka.
Jika seseorang bekerja lebih keras, maka ia akan diberi makanan yang lebih baik. Hasilnya adalah, seiring berjalannya waktu, para pekerja yang lebih kecil, lebih lambat, dan kurang efisien mati kelaparan.
“Sebelum diasingkan, Anda akan dihargai sebagai manusia. Di gulag, Anda hanya dihargai berdasarkan seberapa keras Anda bisa bekerja,” jelas Thomson.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR