Nationalgeographic.co.id—Sekelompok arsitek di Bandung membangun sebuah rumah yang sebagian materialnya berasal dari sampah popok. Inovasi ini adalah sebuah terobosan yang bisa membantu menyelesaikan dua masalah sekaligus.
Pertama, masalah lingkungan, persisnya problem sampah popok yang sulit terurai dan sulit didaur ulang. Kedua, masalah terbatasnya sumber daya untuk pembangunan rumah. Terutama pasir yang merupakan sumber daya alam yang jika dieksploitasi terus-menerus bisa menjadi langka dan bahkan habis.
National Geographic Indonesia berkesempatan berbincang dengan tim arsitek di Bandung ini. Mereka semua adalah lulusan S-2 bidang arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) dan salah satu di antaranya baru saja menyelesaikan studi S-3 di bidang arsitektur di University of Kitakyushu, Jepang.
Siswanti Zuraida, sang lulusan kampus Jepang, mempublikasikan hasil riset eksperimental pembuatan rumah dari sampah popok itu di jurnal Scientific Reports terbitan Nature dan mendapat sorotan banyak media internasional. Sisda, sapaan Siswanti, mengatakan makalah riset itu merupakan "bagian disertasi saya."
Dalam makalah risetnya Sisda memaparkan hasil tes uji material dan perhitungan teknis yang membuktikan bahwa material komposit yang sebagian bahannya berasal dari sampah popok terbukti kuat untuk menopang rumah yang mereka bangun. Secara teknis sampah popok bisa menggantikan material pasir hingga persentase tertentu sehingga tetap memiliki kekuatan yang sesuai standar keamanan bangunan.
Sebuah rumah tipe 36 yang mereka buat menggunakan total sekitar 1,7 meter kubik limbah popok, yang merupakan sekitar 8 persen dari total volume material komposit. "Itu kurang lebih sekitar 200 buah popok,” kata Sisda.
Namun lebih lanjut Sisda dan rekan-rekannya menghitung bahwa limbah popok dapat menggantikan 27 persen material pasir untuk prototipe rumah satu lantai mereka. Adapun untuk komponen arsitektural seperti dinding dan lantai beton, proporsi penggunaan limbah popok dapat digunakan sebanyak 40 persen. Ini artinya serpihan sampah popok bisa mensubstitusi penggunaan pasir sebanyak 40 persen.
Penggunaan sampah popok sebagai pengganti pasir ini, menurut perhitungan Sisda, bisa memangkas biaya pembangunan rumah hingga hampir sepertiganya. Ini tentu merupakan opsi bagus untuk pembangunan rumah murah bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah di Indonesia.
"Kalau misalnya si popoknya itu udah jadi materialnya, itu bisa hemat sampai 30% dari total biaya pembangunan," ujar Sisda. "Tapi itu di luar ngolah si popoknya. Jadi di luar ngumpulinnya, ngebersihinnya, motong-motongnya."
"Kalau kemarin skemanya karena kami itu semuanya swadaya. Jadi, popoknya dari anak kami sendiri, misalnya, motong-motongnya kami sendiri pakai gunting alat-alat di rumah, ya bisa hemat 30%."
Material alternatif bangunan ini diharapkan bisa membantu menjawab masalah keterbatasan sumber daya perumahan di Indonesia. Terutama di wilayah perkotaan.
Sebab, seperti di negara berkembang lainnya, penyediaan perumahan murah di Indonesia telah menjadi perhatian serius dalam tiga dekade terakhir seiring dengan pertumbuhan populasi perkotaan sebesar 4,1% per tahun. Diprediksi, harga lahan dan material bangunan akan semakin mahal seiring dengan meningkatnya permintaan.
Dan diperkirakan, 68% penduduk Indonesia akan tinggal di wilayah perkotaan pada tahun 2025. Itu artinya sekitar 7 dari 10 orang di Indonesia akan tinggal di kota pada 2025.
Tak hanya soal masalah sumber daya material bangunan, seperti disebutkan di atas, inovasi rumah popok ini juga mencoba mengurai masalah sampah popok. Cerita inovasi rumah popok ini bermula saat tim arsitek mereka mendapat tantangan dari sebuah perusahaan penyedia pengelolaan limbah dan energi terbarukan kepada tim Sisda.
“Mereka ngasih challenge bagaimana nih untuk mendaur ulang limbah popok,” kenang Sisda.
Selama ini sampah popok sekali pakai telah menjadi masalah yang pelik. Data menunjukkan bahwa sampah popok sekali pakai baru bisa terurai setelah 450 tahun. Artinya sampah jenis ini sulit terdegradasi dan bakal mencemari lingkungan.
Lebih lanjut, sejauh ini sebagian besar sampah popok sekali pakai di dunia hanya terbuang percuma dan mencemari lingkungan. Menurut riset Bank Dunia pada 2017, popok sekali pakai menjadi penyumbang sampah terbanyak kedua di laut, yakni 21%. Di posisi pertama ada sampah organik (44%) dan ketiga ada tas plastik (16%).
Jadi, selama bertahun-tahun limbah popok telah menjadi masalah di banyak negara. Contohnya, Amerika Serikat membuang 20 miliar popok sekali pakai setiap tahunnya, sedangkan Inggris mencampakkan 3 miliar sampah popok saban warsa.
Di Indonesia, masalah sampah popok juga krusial. Sebagai sampel, setiap harinya terdapat 100 ton sampah popok yang dibuang ke Sungai Citarum, Jawa Barat, pada 2020.
"Kemarin kami juga sempat meriset penelitian di Kota Bandung. Jadi di Kota Bandung, kami sebar kuesioner ke ibu-ibu rumah tangga, berapa sih banyaknya popok yang dihasilkan bayi mereka. Nah, ternyata 4-5 popok," tutur Sisda.
"Nah kalau misalnya diasumsikan satu kota itu ada 180.000 bayi [red: Menurut BPS, jumlah balita di Kota Bandung tahun 2020 telah mencapai 193.295 orang], dikalikan 5 popok sehari, kami hitung bisa sampai 20 meter kubik sehari [lebih besar dari ukuran mobil Alphard] si popok itu. 20 meter kubik berapa banyak dalam setahun. Itu baru dari satu kota, belum satu negara," paparnya.
Dalam pembuatan rumah ramah lingkungan ini Sisda memakai popok bekas anaknya. Ibu satu anak itu merasakan betul susahnya membersihkan sampah popok dari urine dan feses. Dan di Indonesia ini sayangnya belum ada sistem pemilahan dan pengolahan sampah popok.
Muhammad Arief Irfan, anggota tim arsitek rumah popok ini, menjelaskan bahwa proses pengolahan sampah popok hingga bisa jadi material rumah ini mudah dilakukan siapa saja. Bahkan pembangunan rumah dari sampah popok ini mereka lakukan dengan melibatkan para tukang atau kuli bangunan lokal di Bandung.
"Artinya, siapa pun bisa mengaplikasikan dengan mudah, dengan sederhana," ucap Irfan.
Prosesnya, sampah popok dibersihkan dan disterilisasikan terlebih dahulu, kemudian dijemur hingga kering. Setelah kering, popok itu bisa dicacah atau dipotong kecil-kecil, bisa menggunakan gunting manual atau juga mesin pencacah otomatis.
Setelah itu, potongan atau serpihan popok dicampurkan dengan material pembentuk komposit bangunan. Serpihan popok ini bisa menggantikan pasir hingga persentase yang disebutkan di atas.
Menurut Sisda, popok yang bisa dipakai tidak hanya popok kotor, tetapi juga popok bersih. Misalnya popok bersih yang tak lolos kontrol kualitas dari pabrik popok.
"Pabrik bisa nge-reject sekitar 5 persen popok. Kebayang enggak satu perusahaan bisa segitu produksi sampah popoknya," tutur Sisda.
Anjar Primasetra, anggota tim arsitek ini, lebih lanjut menjelaskan bahwa teknik pembangunan rumah popok ini dilakukan dengan pembuatan panel-panel komposit. "Panel-panel itu kemudian dipasang seperti lego," kata Anjar.
Dengan konsep rumah prefabrikasi menggunakan panel-panel komposit yang sebagian materialnya terbuat dari sampah popok ini, teknik pembuatan rumah ramah lingkungan ini bisa diaplikasikan di area-area terpencil. Bahkan bisa dipakai untuk pendirian rumah penampungan korban bencana.
Kini mereka sedang berusaha untuk meningkatkan produksi rumah dari sampah popok ini ke skala yang lebih besar. Mereka berharap teknik pembuatan rumah lingkungan ini bisa diterapkan di banyak wilayah di Indonesia, bahkan luar negeri.
"Yang paling prinsip kita memberikan alternatif ya. Mana yang budget-nya sesuai, mana yang goal-nya juga sesuai. Mana yang green, mana yang enggak green. Artinya orang punya opsi, baik dari materialnya, desainnya, metodenya, maupun yang lain juga," ujar Irfan.
"Satu kita menyediakan opsi. Yang kedua, kita memang punya goal besar tadi menyediakan low cost housing. Rumah murah itu targetnya. Saya yakin tantangannya sangat tidak mudah," lanjutnya lagi.
Anjar menambahkan bahwa jalan untuk memasyarakatkan dan memopulerkan rumah ini di Indonesia masih panjang. Menurutnya, mungkin saat ini rumah dari limbah popok ini "belum bisa jadi mainstream, tapi kita bisa memberikan alternatif ya."
"Jadi ibaratnya kalau musik itu kita indie nih," tegas Anjar. "Kita ngasih alternatif lain untuk orang yang pengen hidup lebih ramah lingkungan dan terus juga peduli sama isu-isu lingkungan."
"Kalau kita coba untuk mengubah dunia, ya mungkin jalannya masih panjang. Tapi kita bisa memberikan alternatif bersanding dengan teman-teman yang lain yang juga mencoba mengangkat isu lingkungan juga."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR