Nationalgeographic.co.id—Negara Israel yang ada hari ini berdiri di atas Kemutasarifan Yerusalem atau yang lebih dikenal sebagai Sanjak Yerusalem. Daerah ini, pada awalnya dalam sejarah dunia, merupakan sebuah distrik di Kekaisaran Ottoman yang mendapatkan status pemerintahan istimewa pada 1872.
Pembentukan Israel pada 1900-an tidak terlepas dari keinginan kalangan zionis, masa senja Kekaisaran Ottoman pada Perang Dunia I, dan Inggris yang mulai menggerogoti sebagai kawasan Ottoman. Bagi kalangan zionis, negeri Palestina di Sanjak Yerusalem merupakan tempat yang tepat untuk mewujudkan cita-cita pendirian negara Yahudi.
Awalnya, kalangan zionis mengajukan keinginannya kepada Kekaisaran Turki untuk mendirikan negara Yahudi. Pendirian di Sanjak Yerusalem berdasarkan cita-cita pendiri zionis Theodor Herzl pada 1896. Herzl mengatakan, "Palestina adalah rumah bersejarah kita yang tak terlupakan. Tanah itu akan menjadi kekuatan yang memiliki potensi luar biasa untuk satukan umat kita."
Keinginan ini gagal mencapai kesepakatan. Oleh karena itu, kalangan zionis di Eropa mencari jalan keluar kepada Inggris, karena pada saat itu kaum Yahudi mengalami diskriminasi tinggi.
Salah satu pertemuan pun diadakan oleh para pemimpin zionis dan pemerintah Inggris. Herzl bertemu dengan sekretaris kolonial Inggris Joseph Chamberlain pada 1902-1903.
Chamberlain sempat menolak karena Palestina merupakan kawasan Kekaisaran Ottoman, salah satu negara yang berpengaruh sebelum Perang Dunia I. Pemerintah Inggris punya solusi lain yang cukup kontroversial: menjadikan kawasan jajahannya di Afrika Timur sebagai koloni bangsa Yahudi, sebagai pilihan alternatif.
Hal itu diungkapkan oleh sejarawan Robert G. Weisbord dalam buku African Zion: The Attempt to Building a Jewish Colony in the East Africa Protectorate. Kawasan yang dipilih adalah di Kenya barat dan berbatasan langsung dengan Uganda yang saat itu merupakan Protektorat Afrika Timur Britania.
Meski lokasi yang direncanakan berada di Kenya barat, namun banyak catatan yang justru menyebutnya di Uganda. Bahkan dalam pembahasan lebih disebut sebagai "Skema Uganda"
Agustus 1903, Kongres Zionis Keenam diselenggarakan di Inggris. Herzl menyampaikan usulan untuk mendirikan kependudukan Yahudi di Afrika Timur kepada para anggota. Dalam sejarah dunia, daerah Afrika Timur ditawarkan oleh pemerintah Inggris karena koloni Afrika Timur mengalami stagnasi karena kurangnya pemukim Eropa.
Selain itu, Inggris berniat mengendalikan jumlah populasi Yahudi yang bermigrasi ke Inggris setelah kejadian pembantaian besar-besaran di Eropa Timur.
Ada pula Inggris yang sedang mendirikan kereta api di Uganda yang dibangun dengan pajak untuk menghubungkan dari pesisir Kenya hingga pedalaman Uganda. Dengan adanya kalangan zionis yang bermukim di Afrika Timur, investasi akan hadir untuk mengurangi defisit dari pembangunan.
Usulan koloni Yahudi di Afrika Timur memicu perdebatan sengit di kalangan zionis dalam sejarah dunia. Penolakan pun bermunculan oleh masyarakat Inggris, baik di Inggris sendiri maupun di Afrika Timur.
Melansir Jewish Action, usulan ini juga ditentang oleh penjelajah Inggris di Afrika Timur Lord Delamere. Dia tidak mengetahui rincian rencana tersebut, tetapi sangat menentangnya.
Jelas, sejak lama dalam sejarah dunia, Organisasi Zionis menginginkan Palestina sebagai tempat tinggal bangsa Yahudi. Memilih Palestina dinilai lebih pantas karena dielu-elukan sebagai Tanah yang Dijanjikan yang termaktub dalam kitab suci Yahudi. Hal ini pun menjadi motivasi kaum zionis yang kuat.
Herzl, sebagai pencetus awal zionisme, bukan bermaksud mengalihkan perhatiannya dari Palestina. Baginya, Afrika Timur bisa menjadi sarana bagi orang Yahudi untuk ditampung dari kekerasan yang marak di Eropa.
Rencana Uganda juga sebenarnya mendapat dukungan dari kalangan zionis religius seperti Rabbi Isaac Jacob Reines. Dia menilai, tidak masalah jika melupakan Yerusalem, dan bangsa Yahudi bisa mendapat perlindungan sementara di Afrika Timur. Konon, Rabbi Reines memberikan suara dukungan atas Herzl pada Rencana Uganda agar gerakan zionisme tidak terpecah.
David Wolffsohn, presiden Organisasi Zionis setelah Herzl mengunjungi Kenya untuk melihat langsung kondisi lokasi. Kunjungan itu kemudian diikuti oleh beberapa anggota zionis lainnya dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi.
Hasil penyelidikan ini membuat Rencana Uganda resmi ditolak pada Kongres Zionis Ketujuh pada 1905. Penyebab utamanya adalah keinginan semua delegasi untuk mengembalikan bangsa Yahudi ke tanah airnya di Palestina.
Usulan lokasi negara Yahudi di luar Palestina lainnya
Afrika Timur bukanlah yang pertama menjadi kawasan usulan untuk kaum zionis mendirikan pemukiman dalam sejarah dunia. Sebelumnya, ketika Herzl bertemu dengan pihak Kekaisaran Ottoman pada Juli 1902.
Sultan Abdulhamid II menawarkan tanah di Mesopotamia seperti Suriah dan Anatolia sebagai tempat tinggal umat Yahudi, tetapi bukan Palestina. Pilihan itu ditolak Herzl yang ngotot menginginkan Palestina.
Ada pula Siprus ditawarkan kepada kalangan zionis pada 1897 sebagai pemukiman Yahudi. Tawaran ini diusulkan oleh Davis Trietsch, salah satu pimpinan Organisasi Zionis kelahiran Jerman.
Trietsch juga mengusulkan kandidat lokasi lain, El-Arish, Mesir. Terletak di pesisir utara Mesir di Laut Mediterania, El-Arish cukup dekat dengan Palestina (53 kilometer dari perbatasan Rafah, Jalur Gaza). Tempat ini sempat ditetapkan sebagai pemukiman otonom Yahudi yang disponsori pemerintah Inggris.
Tempat lainnya yang sempat diusulkan lagi adalah Krimea, Guyana Inggris di Amerika Selatan, dan Sitka di Alaska.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR