Nationalgeographic.co.id—Selain piramida, Sphinx, dan mumi, salah satu penemuan paling menarik dari sejarah Mesir kuno adalah hieroglif.
Sebuah bentuk tulisan yang tampak seperti gambar orang, hewan, dan benda.
Orang Mesir menghiasi bagian dalam kuil, monumen, dan makam mereka dengan tulisan hieroglif dan menuliskannya di papirus, kertas kuno yang terbuat dari alang-alang.
Simbol-simbol misterius ini, yang dilukis dan diukir pada dinding suci makam dan kuil kuno, telah lama membisikkan rahasia peradaban yang berkembang ribuan tahun lalu. Namun, apa arti simbol-simbol ini?
Bagaimana para sarjana menguraikan struktur kompleks mereka untuk mengungkap kisah-kisah yang mereka miliki?
Hieroglif Mesir adalah sistem penulisan yang digunakan oleh orang Mesir kuno yang menggabungkan unsur logografik, suku kata, dan alfabet.
Berbeda dengan bahasa Inggris yang dibaca dari kiri ke kanan, hieroglif dapat ditulis dalam baris atau kolom dan dapat dibaca dari kanan ke kiri atau kiri ke kanan, tergantung arah hadap gambar tersebut dalam sejarah Mesir kuno.
Hieroglif Mesir terdiri dari tiga jenis tanda yaitu fonogram, logogram, dan determinatif. Fonogram adalah tanda yang mewakili bunyi, seperti huruf dalam alfabet Inggris. Mereka bisa berupa monoliteral, mewakili satu konsonan; biliteral, mewakili dua konsonan; atau triliteral, mewakili tiga konsonan.
Logogram adalah tanda yang mewakili kata atau morfem, mirip dengan ikon dalam bahasa visual modern.
Kata determinatif adalah tanda yang memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kata yang menyertainya. Mereka tidak memiliki nilai fonetik tetapi memberikan konteks pada kata tersebut. Misalnya, determinatif laki-laki di sebelah sebuah kata mungkin menunjukkan bahwa kata tersebut ada hubungannya dengan laki-laki.
Tulisan hieroglif tidak mempunyai spasi antar kata, dan tidak ada tanda baca. Artinya, pembaca harus memiliki pemahaman yang baik tentang tata bahasa Mesir kuno dan mengetahui konteks pesan agar dapat membedakan setiap kata, klausa, kalimat, paragraf, dan bab.
Selain itu, tidak seperti bahasa Inggris modern, hieroglif tidak harus dibaca secara horizontal dari kiri ke kanan. Hieroglif dapat ditulis dari kiri ke kanan, atau dari kanan ke kiri, dan secara vertikal maupun horizontal.
Karena tulisan hieroglif sangat rumit, orang Mesir kuno mengembangkan jenis tulisan lain yang lebih mudah digunakan. Tulisan hierarkis, yaitu tulisan kursif yang ditulis pada papirus dengan pena atau kuas, atau pada sepotong batu kapur yang disebut ostracon, diciptakan untuk digunakan terutama pada papirus, bahan yang lebih rapuh.
Setelah Ptolemeus, yang merupakan keturunan Makedonia, mulai memerintah Mesir pada tahun 300-an SM, bahasa Yunani menggantikan bahasa Mesir sebagai bahasa resmi istana.
Sekitar 600 tahun kemudian, pada tahun 384 M, Kaisar Romawi Kristen Theodosius menyetujui dekrit yang melarang agama pagan dipraktikkan di Mesir, yang merupakan awal dari berakhirnya penggunaan hieroglif, menurut penulis Stephane Rossini.
Pada saat tulisan hieroglif terakhir yang diketahui diukir di Kuil Philae pada tahun 394 M, mungkin hanya ada sedikit pematung Mesir yang masih bisa memahami apa yang diminta untuk mereka ukir di dinding.
Batu Rosetta Membawa Terobosan
Batu Rosetta adalah prasasti granodiorit Mesir kuno yang bertuliskan dekrit yang dikeluarkan di Memphis pada tahun 196 SM atas nama Raja Ptolemeus V. Dekrit tersebut muncul dalam tiga aksara: teks atas adalah hieroglif Mesir Kuno, bagian tengah aksara Demotik, dan bagian bawah Yunani kuno.
Pada tahun 1799, tentara Perancis yang bertugas di bawah Napoleon di Mesir, yang sedang memperbaiki benteng di kota Rashid (juga dikenal sebagai Rosetta), menemukan lempengan batu yang kemudian dikenal sebagai Batu Rosetta.
Hal itu ditutupi dengan tulisan dalam tiga aksara berbeda—tulisan hieroglif, demotik dan Yunani kuno. Tiga bahasa yang terukir pada satu batu memungkinkan para peneliti menguraikan tulisan hieroglif tersebut.
Ilmuwan Inggris Thomas Young, yang mulai mempelajari batu tersebut pada tahun 1814, pertama kali menyimpulkan bahwa beberapa simbol adalah ejaan fonetik nama kerajaan.
Kemudian, antara tahun 1822 dan 1824, ahli bahasa Perancis Jean-Francois Champollion mampu menunjukkan bahwa hieroglif adalah kombinasi simbol fonetik dan ideografik. Ia mampu menguraikan teks tersebut, yang merupakan pesan dari pendeta Mesir kepada Ptolemeus V yang ditulis pada tahun 196 SM.
“Pada akhirnya Champollion lebih unggul, berkat studinya yang mendalam tentang bahasa Koptik, yang merupakan fase terbaru dari bahasa Mesir,” jelas Peter F. Dorman, profesor emeritus di Institut Oriental Universitas Chicago dikutip History.
Mencari tahu makna teks yang ditulis dalam tulisan hieroglif dalam sejarah Mesir kuno masih merupakan tantangan besar bagi para sarjana, dan memerlukan sejumlah interpretasi subjektif.
Source | : | History |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR