Nationalgeographic.co.id—Pertarungan gladiator adalah salah satu pertunjukan populer di Kekaisaran Romawi.
Karena disukai oleh masyarakatnya, acara ini menjadi cara bagi para pemimpin untuk mendapatkan dukungan dari rakyatnya. Sangat populer di Kekaisaran Romawi, pertarungan gladiator ini justru berasal dari luar Romawi. Bagaimana sejarahnya?
Dinasti Brutus di Republik Romawi awal
Dinasti Brutus adalah salah satu keluarga paling berkuasa di Republik Romawi awal. Salah satu anggota dinasti, Lucius Junius, memimpin pemberontakan melawan raja terakhir Roma.
“Ia membantu mendirikan republik itu sendiri pada tahun 509 SM,” tulis Nicky Nielsen di laman Atlas Obscura. Sepanjang sejarah Romawi, keturunannya memegang semua jabatan penting di pemerintahan dan memandang diri mereka sebagai pembela sejati Romawi.
Pada tahun 264 SM, Brutus Pera, seorang anggota penting keluarga politik agung ini, meninggal. Putra-putranya memilih untuk menghormatinya dengan penghormatan yang disebut munus.
Pada dasarnya, munus adalah peringatan publik yang mencakup pembagian daging dan anggur.
Namun saudara-saudara juga ingin menambahkan sesuatu agar munus menjadi lebih berkesan. Oleh karena itu, mereka menambahkan pertarungan sampai mati.
Keputusan saudara-saudara ini akan memulai tradisi tontonan gladiator berdarah selama berabad-abad di Kota Abadi.
Saat ini, pertempuran brutal ini tampak seperti peristiwa Romawi kuno yang klasik. Namun, seperti sebagian besar kebudayaan Romawi kuno, tradisi ini sebenarnya diimpor dari tempat lain.
Tradisi yang diimpor dari luar Romawi
Penulis Romawi Ausonius menyebutkan bahwa pertandingan gladiator untuk menghormati Brutus Pera terdiri dari enam gladiator yang bertarung dengan senjata dan baju besi dari bangsa Thracia.
Thracia adalah suatu bangsa yang menduduki tempat yang sekarang disebut Bulgaria.
Tidak ada catatan tentang bagaimana pertarungan tersebut berlangsung. Namun, kemungkinan besar keenam budak malang yang dibeli oleh Brutus bersaudara saling membantai hingga hanya tersisa satu yang masih hidup.
Darah telah tertumpah dan daging serta anggur telah dibagikan; jiwa Brutus Pera bisa memulai perjalanannya menuju akhirat. Dan kaum plebian di Roma mulai menyukai tontonan berdarah itu.
Pertarungan gladiator adalah salah satu bentuk pengurbanan manusia
Pertarungan gladiator yang diselenggarakan untuk pemakaman Brutus Pera adalah sejenis pengurbanan manusia.
Pengurbanan seperti itu, yang diadakan untuk menghormati pria dan wanita terkemuka di pemakaman mereka, bukanlah hal yang aneh di dunia kuno.
Di Illiad, pahlawan Yunani Achilles mengorbankan selusin rakyat Troya yang ditangkap di pemakaman kekasihnya Patroclus, misalnya.
Di semenanjung Italia, suku Campanian yang memopulerkan pertarungan gladiator sekitar satu abad sebelum kematian Brutus Pera.
Mereka adalah keturunan pemukim Yunani. Namun peristiwa ini tidak selalu dikaitkan dengan pemakaman.
Menurut penulis Romawi, Livy, orang Campanian, yang meminjam dari tanah air leluhur mereka, memulai tradisi merayakan kemenangan militer atas musuh bebuyutan mereka, orang Samnit.
Mereka mendandani para budak dengan baju besi Samnite yang direbut dan memaksa mereka bertarung sampai mati.
Beberapa ahli berpendapat bahwa asal mula tradisi penguburan gladiator lebih mengarah ke utara, di Etruria.
Sebagai saingan, Etruria turut memberikan pengaruh dalam banyak hal bagi Roma. Namun penggambaran paling awal tentang pertarungan gladiator yang terkait dengan pemakaman berasal dari lukisan di makam Campanian sejak abad keempat SM.
Perkembangan gladiator di Kekaisaran Romawi
Dimasukkannya pertarungan gladiator di pemakaman terus meningkat di Roma sepanjang abad terakhir SM. “Dan jumlah gladiator di setiap munus juga bertambah,” tambah Nielsen.
Pada tahun 216 SM, lebih dari 40 gladiator bertarung sampai mati di pemakaman konsul Marcus Aemilius Lepidus.
Kurang dari empat dekade kemudian, pada tahun 183 SM, pemakaman negarawan Publius Licinius melibatkan 120 gladiator. Dan pertarungan tersebut berlangsung selama tiga hari.
Seperti halnya pembagian daging dan anggur, tontonan kekerasan ini menunjukkan kehebatan keluarga almarhum kepada publik.
Pertarungan awalnya dipentaskan di Forum Boarium, pasar ternak Roma. Forum tersebut hanya menyediakan sedikit akomodasi bagi penonton.
Namun, seiring dengan meningkatnya skala dan popularitas gladiator, pertarungan dipindahkan ke Forum Romanum yang lebih besar.
Di tempat yang baru, tribun kayu dapat didirikan untuk menampung massa yang jumlahnya meningkat pesat.
Para gladiator juga berubah. Pada awalnya, mereka adalah budak yang dipersenjatai dengan senjata sederhana dan tanpa baju besi.
Mereka hanya mendapat sedikit atau tanpa pelatihan dan dipaksa bertarung sebaik mungkin.
Beberapa penyelenggara penguburan mulai membekali para budak dengan baju besi yang biasa dikenakan tentara Romawi, termasuk chainmail.
Namun alat pelindung tersebut memperpanjang pertarungan. Dan tujuannya adalah tontonan serta pengurbanan manusia, bukan kelangsungan hidup.
Hasilnya, baju besi tersebut disingkirkan, meninggalkan para gladiator dengan kombinasi ikonik berupa duka, helm, dan perisai. Hanya ada sedikit perlindungan pada bagian dada, sehingga luka lebih mungkin berakibat fatal. Tontonannya dibuat penuh darah.
Dari penghormatan hingga alat politik
Pada abad pertama SM, munus telah menjadi alat politik, meskipun masih dikaitkan dengan upacara penguburan, setidaknya di atas kertas.
Setiap pejabat Romawi yang ingin dipilih untuk menduduki jabatan publik yang penting akan mengadakan pesta pemakaman yang mewah. Hal ini dilakukan untuk memenangkan hati rakyat.
Julius Caesar, yang ingin melanjutkan karir politiknya pada tahun 65 SM, mengadakan munus untuk ayahnya (yang telah meninggal selama 20 tahun).
Pada acara itu, 640 gladiator bertarung dengan mengenakan baju besi yang terbuat dari perak murni. 19 tahun kemudian, Caesar mengulangi kemenangannya dengan munus lainnya. Kali ini untuk putrinya yang telah meninggal selama hampir satu dekade.
Caesar tidak hanya memasukkan pertarungan antara gladiator yang diperbudak, tetapi juga pertarungan spektakuler antara dua anggota aristokrasi Romawi yang secara tidak bijaksana mendukung lawan politik Caesar, Pompey.
Dalam waktu 1 tahun setelah pertandingan tersebut, Caesar telah dibunuh oleh anggota Senat Romawi. Romawi pun terjerumus ke dalam perang saudara. Selama era Kekaisaran, kaisar melarang munus diselenggarakan oleh individu tanpa izin tertulis.
Namun ini tidak berarti akhir dari pertarungan gladiator. Sebaliknya, pertarungan tersebut menjadi tontonan yang dikelola kekaisaran.
Karena itu, pertarungan dimaksudkan untuk menghormati kaisar. Selain itu juga untuk meningkatkan popularitas kaisar di kalangan rakyat jelata yang masih haus akan darah, roti, dan sirkus.
Source | : | Atlas Obscura |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR