Nationalgeographic.co.id—Kehidupan dan kematian Permaisuri Wanrong, yang menikah dengan Kaisar Tiongkok terakhir, adalah salah satu penderitaan yang sangat besar. Penduduk asli Beijing ini tumbuh dewasa setelah sekitar dua milenium pemerintahan Kekaisaran Tiongkok. Ia bergabung dengan keluarga kekaisaran di hari-hari terakhir kekuasaan Kekaisaran Tiongkok.
Alih-alih kebahagiaan, pernikahannya dengan Kaisar Tiongkok yang terakhir justru menyebabkan patah hati, penderitaan, dan kematian tragis.
Ia terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dan menderita masalah kesehatan mental serta kecanduan opium. Permaisuri Wanrong akhirnya meninggal sendirian pada usia 39 tahun di kamp penjara yang dijalankan oleh gerilyawan Komunis Tiongkok.
Wanrong, permaisuri terakhir dari Kekaisaran Tiongkok
Lahir pada akhir Dinasti Qing, Wanrong dipilih oleh Kaisar Tiongkok yang terakhir, Puyi, sebagai salah satu istrinya. “Namun pernikahan mereka tanpa cinta,” tulis Marco Margaritoff di laman All That’s Interesting.
Permaisuri muda ini mendapati dirinya bersaing dengan selir suaminya. Hal ini justru memperburuk kecanduan opium dan masalah kesehatan mentalnya. Sementara itu, ketidakstabilan politik di Kekaisaran Tiongkok menempatkan Wanrong dan Puyi dalam posisi genting untuk memimpin kerajaan boneka Jepang, Manchukuo.
Ketika konflik berkobar baik di dalam maupun di luar Kekaisaran Tiongkok, Wanrong akhirnya jatuh ke tangan gerilyawan komunis Tiongkok. Mereka menjebloskannya ke kamp penjara. Hari-hari terakhirnya dihabiskan dengan menggeliat-geliat di lantai karena penderitaan akibat ketergantungan opium. Di saat yang sama, ia dipamerkan bak binatang di kebun binatang yang dikurung.
Wanrong akhirnya meninggal sendirian di genangan air kencingnya sendiri pada usia 39 tahun.
Hingga hari ini, Permaisuri Wanrong tetap menjadi salah satu tokoh paling tragis dalam sejarah Tiongkok.
Bagaimana Wanrong menjadi permaisuri Kekaisaran Tiongkok
Lahir sebagai Gobulo Wanrong pada tahun 1906 di Beijing, calon permaisuri tumbuh dewasa pada masa Dinasti Qing. Meskipun ibunya meninggal ketika Wanrong masih muda, ayahnya memegang posisi penting dalam masyarakat.
Ayah Wanrong, Rongyuan, adalah bagian dari Panji Putih Biasa – salah satu dari Delapan Panji, atau divisi administratif elite masyarakat Qing. Rongyuan juga menjabat sebagai menteri dalam negeri di Istana Kekaisaran Tiongkok.
Namun pada tahun 1911, revolusi melanda Tiongkok. Dinasti Qing digulingkan, yang mengarah pada pembentukan Republik Tiongkok pada tahun 1912.
Meskipun terjadi gejolak politik, kaisar muda Puyi diizinkan mempertahankan gelarnya. Kaisar remaja itu bahkan diizinkan mengadakan pernikahan di Kota Terlarang – setelah dia memilih pengantin. Puyi diinstruksikan untuk memilih calon istrinya dari sejumlah foto pilihan. Namun karena dia tidak bisa menikahi pilihan pertamanya, seorang gadis berusia 12 tahun bernama Wenxiu.
Akhirnya dengan enggan, Puyi memilih Wanrong, dengan Wenxiu sebagai selirnya.
Wanrong berusia 16 tahun saat itu. Dan remaja itu tidak senang dengan perjodohan tersebut. Saat para kasim dan dayang berbondong-bondong ke sisinya untuk mempersiapkan pernikahannya, Wanrong mundur.
Wanrong memberontak dan tidak senang menikahi seseorang yang belum pernah dia temui sebelumnya.
Meskipun dia enggan, Wanrong dan Puyi menikah pada tanggal 1 Desember 1922. Pasangan itu dibawa berkeliling Beijing dengan kursi sedan yang penuh hiasan sementara ribuan orang menyaksikannya. Ia harus menjalani upacara yang menampilkan Wanrong melangkahi api, pelana, dan sebuah apel sesuai tradisi Manchu.
Namun, ada yang salah sejak awal. Pengantin baru seharusnya menghabiskan malam bersama. Namun alih-alih mewujudkan pernikahannya, Puyi malah kabur dari kamar mereka pada malam hari.
Meskipun awal pernikahannya penuh keberuntungan, Permaisuri Wanrong terus menjalani hidupnya sendiri. Dia menganut modernitas, masakan Inggris, dan jazz, dan bahkan mengadopsi nama Barat Elizabeth yang diambil dari nama Ratu Inggris. Wanrong juga dikenal karena kemurahan hatinya, terutama karena pernah menyumbangkan 600 Yuan untuk membantu korban bencana pada tahun 1923.
Namun kehidupan Permaisuri Wanrong di balik layar bisa jadi sulit. Dia iri pada Wenxiu dan segera mulai menggunakan opium untuk mengatasi sakit perut dan sakit kepala yang semakin parah. Dan tak lama lagi, dia akan menghadapi masalah yang lebih serius dari itu. Pada tahun 1924, kehidupan Wanrong di Kota Terlarang tiba-tiba berakhir.
Keluarga Kekaisaran Tiongkok diasingkan dan disingkirkan dari Kota Terlarang
Pada bulan Oktober 1924, seorang panglima perang bernama Feng Yuxiang mengawasi kudeta. Puyi dan Wanrong kemudian diusir dari Kota Terlarang.
Pasangan kerajaan, bersama dengan Wenxiu, akhirnya menuju Kota Tianjin di bawah perlindungan Jepang. Di sana, ketergantungan Wanrong pada opium mulai tumbuh. Permaisuri senang menghadiri teater, menari, dan berbelanja. Hal-hal yang terakhir ini dia lakukan secara berlebihan sebagai cara untuk bersaing dengan Wenxiu.
Wanrong mulai menderita neurastenia, dengan sakit kepala dan kelelahan di antara gejala lainnya. Sementara itu, dia semakin depresi. Puyi tidak pernah mencintainya dan Wanrong menderita kesepian, kebosanan, serta pengabaian.
Wenxiu juga tidak senang dengan kondisi mereka dan dia meninggalkan Puyi pada tahun 1931. Puyi menyalahkan Wanrong dan menulis dalam memoarnya The Last Manchu: The Autobiography of Henry Pu Yi, Last Emperor of China bahwa dia mulai membenci Wanrong. Menurut Puyi, Wanrong telah mengusir Wenxiu. Puyi hampir berhenti berbicara dengannya setelah Wenxiu pergi.
Ketika hubungan mereka makin memburuk, nasib politik Wanrong dan Puyi juga berubah secara rumit. Pada tahun 1932, Jepang mengangkat Puyi sebagai pemimpin kerajaan boneka Manchukuo di Manchuria. Namun kekuasaan mereka di Manchukuo hanyalah ilusi. Wanrong terus diawasi dan mencoba, namun gagal, untuk melarikan diri berkali-kali.
Meskipun Puyi secara resmi dinobatkan sebagai Kaisar Manchukuo pada tahun 1934, Permaisuri Wanrong membenci kehidupan barunya dan jarang tampil di depan umum. Dia juga mulai menunjukkan tanda-tanda penyakit mental yang lebih parah. Pada tahun 1938, ia bahkan merokok dua ons opium per hari.
Kemudian keadaan menjadi lebih buruk.
Tahun-tahun terakhir kehidupan Permaisuri Wanrong
Sekitar waktu ini, Permaisuri Wanrong mulai berselingkuh dengan dua pelayan Puyi, Li Tiyu dan Qi Jizhong. Segera, dia hamil.
Tidak ada yang sepenuhnya yakin apa yang terjadi ketika Wanrong melahirkan putrinya pada tahun 1935. Bayi tersebut tidak berumur panjang. Ada yang menyatakan bahwa Puyi sangat marah atas perselingkuhan istrinya. Puyi diduga melemparkan bayi yang baru lahir itu ke dalam ketel uap. Yang lain mengatakan bayi itu lahir mati.
Puyi mungkin memberi tahu Wanrong bahwa bayinya masih hidup dan dibesarkan oleh kakaknya. Namun kesehatan mental Wanrong menurun drastis setelah bayi tersebut lahir. Ketergantungannya pada opium segera meningkat.
Sang permaisuri menghabiskan siang dan malam di kamar megahnya untuk mengisap opium. Dia konon juga merokok dua bungkus setiap hari, jarang bangun dari tempat tidur. “Wanrong berhenti berdandan, menjadi lemah dan kurus, dan berhenti menghadiri ulang tahun atau perayaan Tahun Baru,” tambah Margaritoff.
Menurut CCTV, Wanrong hampir tidak bisa berjalan atau bahkan melihat ketika Soviet menginvasi Manchuria pada 1945. Puyi melarikan diri dari Manchuria, meninggalkan istrinya. Dia dan saudara iparnya ditangkap oleh komunis Tiongkok pada bulan Januari 1946. Saat itu Puyi sedang mencoba melarikan diri ke Korea. Dipenjara di Jilin, Wanrong menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam penderitaan dan mengigau karena kecanduan.
Dia tidak diberi makan dan dipajang seperti binatang di kebun binatang bagi masyarakat Tiongkok. Mereka memandang rendah Wanrong sebagai simpatisan Jepang. Pada bulan Juni 1946, Wanrong meninggal pada usia 39 tahun karena kekurangan gizi dan overdosis opium.
Ironisnya, jenazah permaisuri terakhir dari Kekaisaran Tiongkok itu tidak pernah ditemukan. Pada tahun 2006, keluarganya mengadakan upacara pemakaman simbolis untuknya.
Saat ini Permaisuri Wanrong dikenang sebagai sosok yang tragis. Terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta dan badai politik, Wanrong menjalani kehidupan yang sepi dan menyedihkan.
Source | : | All Thats Interesting |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR