Nationalgeographic.co.id—Raja Richard I dari Inggris yang sering dijuluki Richard the Lionheart adalah salah satu tokoh paling ikonik di era abad pertengahan. Dia juga terkenal karena perannya dalam sejarah Perang Salib Ketiga.
Meskipun singkat, pemerintahannya merupakan periode kampanye militer yang intens, intrik politik, dan pencarian kejayaan yang tiada henti.
Namun apa yang mendorongnya memimpin salah satu Perang Salib paling ambisius di Abad Pertengahan? Apa akibat dari tindakannya, baik bagi negara Tentara Salib di Tanah Suci maupun bagi kerajaannya sendiri?
Siapakah Raja Richard I?
Raja Richard I lahir pada tanggal 8 September 1157, di Oxford, Inggris. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara Raja Henry II dari Inggris dan Eleanor dari Aquitaine. Sejak usia muda, Richard menunjukkan minat dalam urusan militer dan terkenal karena keberanian dan keterampilan kepemimpinannya.
Penyebab Perang Salib Ketiga
Hilangnya Yerusalem ke tangan pasukan Saladin pada tahun 1187 dianggap sebagai kekalahan spiritual yang besar bagi umat Kristen.
Kota ini tidak hanya merupakan tempat yang memiliki makna keagamaan yang sangat besar, menjadi lokasi penyaliban dan kebangkitan Kristus, namun juga merupakan simbol persatuan dan kekuatan umat Kristiani.
Seruan Paus Gregorius VIII untuk mempersenjatai diri dengan banteng kepausan "Audita tremendi" adalah seruan yang jelas kepada dunia Kristen untuk menjalankan misi suci – sebuah perang salib untuk merebut kembali Tanah Suci dari kendali Muslim.
Motivasi keagamaan ini semakin didorong oleh janji indulgensi, yang menawarkan pengampunan dosa dan keselamatan abadi bagi mereka yang ambil bagian dalam Perang Salib.
Sejarah Perang Salib menyediakan platform bagi para raja dan bangsawan Eropa untuk memperluas pengaruh mereka dan mendapatkan prestise.
Bagi para pemimpin seperti Raja Richard I dari Inggris, Perang Salib adalah kesempatan untuk menegaskan kehebatan militer dan keterampilan kepemimpinannya.
Source | : | History |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR