Dimulai pada tahun 1346, para pembela Genoa di Kaffa (sekarang Feodosiya, Ukraina) bertahan dari pengepungan Mongol yang berlangsung selama lebih dari satu tahun.
Ray menjelaskan, ketika penyakit mulai melanda pasukan pasukan pengepung, bangsa Mongol justru memanfaatkannya sebagai senjata. Mereka melemparkan mayat-mayat yang terserang wabah ke tembok kota.
“Melarikan diri dari wabah yang segera mengakar di kota, orang-orang Genoa secara tidak sengaja membawa wabah ke Eropa; antara tahun 1347 dan 1351, Maut Hitam merenggut 25 juta nyawa,” jelas Ray.
Pada tahun 1925, Protokol Jenewa telah melarang penggunaan senjata biologis. Namun, pada masa Perang Dunia II, Jepang memang menggunakan senjata biologis di Tiongkok. Mereka juga melakukan program eksperimen biologis yang kejam dan tidak bermoral di wilayah yang dikuasainya.
Api Yunani
Meskipun berasal dari dunia kuno, api Yunani tak boleh terlewatkan dalam pembahasan senjata paling mematikan. Ia merupakan senjata paling dahsyat di masa Kekristenan selama lebih dari tujuh abad..
Api Yunani pertama kali digunakan dalam perang Bizantium pada tahun 678 Masehi. Konon api yang disemburkan sulit untuk dipadamkan, sekalipun di dalam air.
Karena kemampuannya yang sangat kuat, resep untuk menciptakan senjata ini sangat rahasia dan dijaga ketat. Bahkan hingga saat ini, api Yunani menjadi teka-teki di kalangan para ahli.
Versi modern dari api Yunani, napalm, pertama kali digunakan selama Perang Dunia II. Penggunaan napalm yang paling terkenal adalah pada pengeboman Sekutu terhadap kota-kota Jerman (13-15 Februari 1945 dan Jepang (9-10 Maret 1945).
Ray mengungkapkan, serangan di Dresden, Jerman, menewaskan “sedikitnya 25.000 orang dan menghancurkan salah satu pusat budaya besar di Eropa.”
Sedangkan serangan di Tokyo, Jepang, “menewaskan sedikitnya 100.000 warga sipil (jumlah yang melebihi jumlah korban jiwa di Hiroshima) dan meratakan separuh ibu kota Jepang.”
Source | : | britannica |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR