Selain memanfaatkan nanas sebagai makanan, mereka juga memanfaatkannya sebagai obat, membuat serat dari jaring dan anyaman daun, serta menggunakannya untuk membuat racun bagi mata panah mereka.
Pada saat Columbus tiba di Dunia Baru, aktivitas penduduk asli Amerika selama berabad-abad telah menyebarkan nanas ke Brasil, Guyana, Kolombia, sebagian Amerika Tengah, dan Hindia Barat.
Dalam sejarah dunia kuno, orang yang sangat kaya saja bisa mendapatkan satu nanas. Karena metode budidaya penduduk asli tampak sembarangan dan bahkan tidak terlihat oleh orang Eropa, keterampilan yang ditanamkan penduduk asli Amerika dalam mengembangkan berbagai spesies nanas tidak dihargai.
Sebaliknya, spesies nanas dianggap oleh para pendatang baru sebagai anugerah alam yang berlimpah, anugerah dari pemeliharaan ilahi.
Bagi Columbus dan para pengikutnya, nanas menjadi simbol dari segala sesuatu yang menakjubkan, eksotik, diinginkan dan raja buah-buahan.
Dikutip Ancient Pages, banyak petualang yang menyatakan apresiasi mendalam terhadap buah ini, menggambarkannya dalam deskripsi yang paling hidup dan jelas.
Antonio Pigafetta dari Venesia, yang berlayar keliling dunia bersama Magellan, mencatat bahwa "Sebenarnya ini adalah buah paling enak yang dapat ditemukan… lebih enak daripada apel yang diberi gula."
Menurut penjelajah Perancis Jean de Léry, "Para dewa mungkin akan menyukainya dan hanya boleh dikumpulkan di tangan Venus."
Sementara Sir Walter Raleigh menulis bahwa: "Orang-orang Spanyol bersumpah bahwa Pinas di Guyana adalah apel yang Hawa menggoda Adam dengan: tetapi memang benar bahwa tidak seorang pun dapat mengungkapkan dengan kata-kata keunggulan buah itu, sejauh buah itu melebihi yang lainnya."
Nanas muncul dalam mitos dan legenda sebagai buah yang dihargai. Nanas juga sering ditempatkan di tumpah ruah.
Tumpah ruah adalah wadah berongga berbentuk tanduk yang sering digambarkan dalam lukisan dan jalur yang berisi banyak buah, koin, bunga, biji-bijian, kacang-kacangan, atau benda lain yang diinginkan.
Source | : | Ancient Pages |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR