Nationalgeographic.co.id - Perkembangan kebudayaan pertanian merupakan babak signifikan dalam laju peradaban umat manusia. Leluhur kita dapat menentukan jenis tanaman mana yang dapat dibudidayakan, dan hewan mana yang bisa menjadi ternak atau kawan kita.
Sekian lama berburu hewan dan memakan segala yang ada di alam, pada suatu waktu, leluhur kita mulai memikirkan cara untuk mengendalikan alam dengan pertanian. Pemikiran ini membutuhkan pembelajaran dan proses yang berlangsung sangat lama.
"Metaforanya adalah 'revolusi'," kata Xinyi Liu, arkeolog dari Department of Anthropology, Washington University.
Jadi, seperti yang digambarkan orang-orang, terdapat 'Revolusi Neolitik' yang fungsinya mirip dengan 'Revolusi Industri' atau 'revolusi ilmiah'–sebuah pergeseran teknologi yang cepat yang diikuti oleh perubahan dalam masyarakat, menurut beberapa narasi," lanjutnya, dikutip dari situs Washington University in St. Louis.
Pengendalian terhadap alam ini disebut sebagai domestikasi. Liu, bersama arkeolog Martin Jones dari McDonald Institute for Archaeological Research di University of Cambridge, menelusuri proses domestikasi yang dilakukan leluhur manusia ini.
Pelbagai penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa proses domestikasi ini berlangsung cepat. Namun, Liu dan Jones meragukan hal itu dalam penelusurannya.
Proses domestikasi tersebut menimbulkan perubahan gen pada pelbagai spesies yang dimanfaatkan leluhur manusia. "Bukti genetik yang lebih baru menunjukkan bahwa aliran gen jangka panjang antara spesies liar dan domestik jauh lebih umum daripada yang diketahui sebelumnya," ungkap Liu.
"Rekayasa Genetika" ala Leluhur Manusia
Domestikasi tumbuhan dan hewan sebenarnya dilakukan secara bertahap selama beberapa ribu tahun. Proses ini melibatkan wilayah geografis yang luas.
"Selama 15 tahun terakhir, kami juga melihat peningkatan dalam pemahaman tentang bagaimana manusia memindahkan tanaman dan hewan peliharaan ke berbagai benua," tutur Liu. "Dalam beberapa kasus, manusia memindahkan tanaman dan ternak sebelum perubahan genetik yang terkait dengan domestik sepenuhnya terjadi pada suatu spesies."
Ada banyak bukti yang mendukung, terang Liu. Misalnya, dalam domestikasi gandum di Timur Tengah yang membutuhkan waktu sekitar 5.000 tahun. Selama jangka waktu tersebut, ciri-ciri morfologi gandum berkembang dari bentuk liarnya.
Rupanya, proses domestikasi gandum ini memiliki terapan yang sama pada peradaban Lembah Yangtze di Tiongkok. Temuan arkeologis mencatat bahwa proses ini berlangsung selama ribuan tahun sampai benar-benar gandum mencapai bentuk domestik pertanian.
Di pusat proses domestikasi di lakukan, varietas leluhur masih dominan. Akan tetapi, jika petani membawa hasil panen dan hewan ternaknya ke lingkungan baru, spesies-spesies ini akan mengalami tekanan seleksi.
Lingkungan yang berbeda dari tanah leluhur menyebabkan berbagai tanaman dan hewan yang dikendalikan leluhur manusia berubah. Perubahan ini berlangsung selama beberapa generasi yang membuat genetik dan fisiknya berbeda dari leluhurnya. Hal ini berlaku pada hewan peliharaan, hewan ternak, jagung, dan gandum.
Spesies yang didomestikasi pun semakin luas, terutama jika pergerakan bahan pangan atau hewan ternak tertentu terhambat dalam proses domestikasi. Spesies baru diperkenalkan kepada tempat peradaban manusia berada. Spesies-spesies tersebut harus beradaptasi dengan lingkungan fisik baru.
"Namun hal-hal tersebut juga akan disesuaikan agar selaras dengan kebiasaan budaya baru. Kami membayangkan adaptasi fisik dan budaya berperan dalam pematangan beberapa sifat domestikasi," urai Liu.
Pelajaran untuk Ketahanan Pangan Masa Depan
Penelusuran yang dilakukan Liu dan Jones dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences dengan tajuk makalah "Needs for a conceptual bridge between biological domestication and early food globalization.".
Menurut Liu, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam kebutuhan pangan hari ini, ketika manusia harus berhadapan dengan perubahan iklim. Saat ini, para ahli di seluruh dunia mengeksplorasi tanaman pangan yang dapat beradaptasi dan menjadi pengganti tanaman dasar pangan yang semakin sulit.
Ada beberapa jenis tanaman biji-bijian yang dapat dimanfaatkan dan berasal dari pelbagai benua. "Oleh karena itu, hal ini merupakan solusi ideal bagi masyarakat untuk meningkatkan swasembada dan mengurangi ketergantungan pada biji-bijian impor," Liu menyarankan.
Sustainability: Kerap jadi Limbah, Kulit Buah Kakao Ternyata Bisa Hasilkan Antioksidan
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR