Nationalgeographic.co.id—Krisis Abad Ketiga, sering digambarkan sebagai periode hampir runtuhnya Kekaisaran Romawi. Era penuh gejolak yang dipenuhi dengan berbagai krisis militer, ekonomi, dan sosial.
Krisis ini juga dikenal sebagai Krisis Kekaisaran. Peristiwa ini membuat Kekaisaran Romawi kuno hampir mencapai titik puncaknya, dilanda perang saudara, invasi asing, keruntuhan ekonomi, dan pergantian kaisar yang cepat.
Selama rentang waktu hampir lima puluh tahun, dari tahun 235 hingga 284 M, Kekaisaran Romawi berada di ambang kehancuran.
Struktur kekaisaran terancam karena mereka menghadapi serangkaian kaisar berumur pendek yang banyak di antaranya berkuasa melalui kudeta militer kejam.
Krisis Abad Ketiga salah satu faktor utamanya adalah gejolak ekonomi yang mulai mengguncang kesultanan. Perekonomian Roma sangat bergantung pada wilayahnya yang luas dan stabilitas yang diberikannya.
Namun, perluasan yang berlebihan, pengeluaran untuk kampanye militer, dan ketergantungan berlebihan pada tenaga kerja budak perlahan-lahan mengikis stabilitas ini.
Pendapatan Roma menyusut karena wilayahnya dirusak oleh peperangan dan pemberontakan. Keadaan peperangan yang terus-menerus ini menghabiskan sumber daya dan tenaga kerja Roma.
Selain itu, perang saudara dan perebutan kekuasaan di antara para petinggi militer hanya memperburuk situasi.
Hal ini menyebabkan terjadinya pergantian kaisar dengan cepat, yang sebagian besar adalah mantan komandan militer dengan sedikit atau tanpa pengalaman dalam pemerintahan.
Selain tantangan-tantangan ini, kekaisaran juga dilanda serangkaian bencana alam dan wabah penyakit.
Wabah Cyprian, yang terjadi antara tahun 249 dan 262 M, menewaskan sebagian besar penduduk Kekaisaran, Romawi. Kejadian ini mengurangi angkatan kerja dan semakin membebani perekonomian.
Sebaliknya, kekeringan, banjir, dan gagal panen mengancam ketahanan pangan dan menyebabkan kelaparan serta kerusuhan di berbagai wilayah kekaisaran.
Terakhir, krisis ini juga dipicu oleh permasalahan sosial dan budaya yang mengakar. Ada kesenjangan yang semakin besar antara si kaya dan si miskin.
Meluasnya ketidakpuasan di kalangan kelas bawah akibat pajak yang besar dan ketidakmampuan kekaisaran untuk memberikan keamanan dan layanan publik.
Selain itu, nilai-nilai tradisional Romawi dan struktur sosial secara bertahap terkikis, dan penyebaran agama baru, seperti Kristen, menyebabkan gesekan budaya dan agama.
Gejolak Politik Mematikan
Ketidakstabilan politik merupakan ciri penting dari Krisis Abad Ketiga, dengan periode yang ditandai dengan pergantian kaisar yang cepat, yang sebagian besar berlatar belakang militer.
Periode ini memperkenalkan konsep yang disebut "Kaisar Barak" - kaisar yang dipilih, dan sering kali digulingkan, oleh tentara, yang menyebabkan pergolakan dan perselisihan terus-menerus di dalam kekaisaran.
Setelah pembunuhan Kaisar Alexander Severus pada tahun 235 M, kekaisaran ini terjerumus ke dalam pusaran kudeta militer, pembunuhan, dan masa pemerintahan yang berumur pendek.
Pada periode ini, yang sering disebut sebagai "Zaman Tiga Puluh Tiran", terdapat tidak kurang dari 26 orang yang mengklaim takhta, dan banyak dari mereka yang berakhir dengan kekerasan.
Pergantian penguasa yang cukup singkat ini sangat mengganggu kestabilan kekaisaran dan menghambat pemerintahan jangka panjang yang konsisten.
Kaisar Barak biasanya adalah jenderal militer yang merebut kekuasaan dengan dukungan pasukannya.
Namun, kesetiaan militer seringkali bergantung pada kemampuan kaisar untuk memberikan gaji tetap dan kemenangan dalam pertempuran.
Jika seorang kaisar gagal dalam bidang ini, mereka dapat dengan cepat ditinggalkan atau dibunuh, dan komandan militer lain akan turun tangan untuk mengisi kekosongan kekuasaan.
Siklus kekerasan dan pengkhianatan ini semakin mengikis stabilitas kekaisaran dan menyebabkan meluasnya korupsi dan pelanggaran hukum.
Kebangkitan Kerajaan Galia dan Palmyrene
Persatuan Kekaisaran Romawi sangat terancam oleh pembentukan negara-negara yang memisahkan diri, yang paling menonjol adalah Kekaisaran Galia di Barat dan Kekaisaran Palmyrene di Timur.
Kekaisaran Galia muncul pada tahun 260 M ketika jenderal Romawi Postumus memberontak melawan Kaisar Gallienus dan menyatakan dirinya sebagai kaisar.
Kerajaan yang memisahkan diri ini mencakup provinsi-provinsi Romawi di Gaul, Germania, Britannia, dan sebentar lagi Hispania.
Postumus dan penerusnya berhasil membentuk pemerintahan kekaisaran yang berfungsi, mencetak koin mereka sendiri, dan menangkis baik penantang internal maupun invasi Jerman dari luar.
Namun, Kekaisaran Galia bersatu kembali dengan Kekaisaran Romawi pada tahun 274 M di bawah Kaisar Aurelian, setelah sekitar empat belas tahun pemisahan.
Sedangkan di Timur muncul Kerajaan Palmyrene di bawah kepemimpinan Ratu Zenobia.
Kota Palmyra, yang semula merupakan pusat perdagangan makmur di gurun Suriah, kini semakin berkuasa dan berpengaruh. Hal ini didukung lokasinya yang strategis dan perannya dalam mempertahankan perbatasan timur dari invasi Persia.
Setelah pembunuhan suaminya, Raja Odaenathus, Zenobia mengambil alih kekuasaan sebagai wali putranya.
Dia mulai memperluas wilayahnya, mengambil kendali atas Mesir dan sebagian besar Asia Kecil.
Pada tahun 270 M, Zenobia telah menyatakan kerajaannya merdeka dari Roma. Namun, seperti Kekaisaran Galia, Kekaisaran Palmyrene juga berumur pendek.
Aurelianus mengalahkan Zenobia pada tahun 273 M, mengembalikan provinsi-provinsi timur ke bawah kendali Romawi.
Upaya Roma dalam Restorasi dan Reformasi
Meskipun terjadi kekacauan dan ketidakstabilan dalam Krisis Abad Ketiga, Kekaisaran Romawi tidak runtuh seluruhnya.
Berkat serangkaian penguasa yang kuat dan cakap yang melakukan reformasi penting, kekaisaran berhasil mengatasi badai dan bahkan memulai proses pemulihan dan transformasi.
Claudius Gothicus (268-270 M) adalah salah satu kaisar pertama selama krisis ini yang memperoleh keberhasilan penting dalam memulihkan stabilitas.
Meskipun masa pemerintahannya singkat, ia adalah seorang pemimpin militer yang efektif yang membela kekaisaran melawan invasi Gotik, sehingga memberinya gelar 'Gothicus.'
Upayanya menstabilkan situasi militer, memberikan kelonggaran yang sangat dibutuhkan dari ancaman eksternal.
Namun reformasi paling signifikan terjadi pada masa Kaisar Aurelian (270-275 M). Dikenal sebagai 'Restitutor Orbis' atau 'Pemulih Dunia', Aurelian melakukan beberapa langkah penting.
Secara militer, ia berhasil mengalahkan Kekaisaran Galia dan Palmyrene yang memisahkan diri, mengintegrasikan mereka kembali ke dalam Kekaisaran Romawi, yang membantu memulihkan kesatuan kekaisaran.
Aurelian juga memprakarsai upaya menstabilkan perekonomian. Dia memperkenalkan koin perak baru, 'aurelianianus,' untuk memerangi hiperinflasi yang disebabkan oleh penurunan nilai mata uang.
Fase besar restorasi dan reformasi berikutnya terjadi pada masa Kaisar Diocletian (284-305 M). Pemerintahan Diokletianus menandai berakhirnya Krisis Abad Ketiga dan dimulainya era baru yang dikenal sebagai 'Dominasi'.
Menyadari bahwa kekaisaran tersebut terlalu luas untuk diperintah oleh seorang penguasa secara efektif, ia memperkenalkan sistem Tetrarki, yang membagi kekaisaran menjadi dua bagian, masing-masing dibagi lagi menjadi Augustus senior dan Kaisar junior.
Sistem ini bertujuan untuk memastikan proses suksesi yang lebih lancar dan memungkinkan tata kelola yang lebih efisien.
Diocletian juga melakukan reformasi ekonomi dan administrasi yang komprehensif. Dia mengeluarkan 'Dekrit Harga Maksimum' dalam upaya mengendalikan inflasi, meskipun tindakan ini kurang berhasil.
Yang lebih berhasil adalah reformasi administratifnya, yang mencakup peningkatan jumlah provinsi, pembagian otoritas sipil dan militer, dan penciptaan struktur birokrasi yang lebih kompleks.
Perubahan ini meningkatkan efisiensi administrasi dan memungkinkan pengumpulan pajak yang lebih baik.
Akhir Krisis
Krisis Abad Ketiga adalah periode perjuangan Kekaisaran Romawi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Namun, berakhirnya pemerintahan ini ditandai dengan perubahan radikal dalam struktur politik dan pemerintahan kekaisaran yang memungkinkan pemulihan stabilitas.
Ini adalah sistem Tetrarki yang diterapkan oleh Kaisar Diocletian yang secara mendasar mengubah pemerintahan kekaisaran dan dianggap telah mengakhiri krisis.
Tetrarki, atau "pemerintahan empat", adalah respons Diokletianus terhadap kesulitan praktis dalam mengatur kerajaan yang luas dan beragam.
Menyadari bahwa seorang kaisar tidak dapat secara efektif memerintah seluruh Kekaisaran Romawi, ia membagi kekuasaan di antara empat penguasa.
Kekaisaran dibagi menjadi dua bagian, masing-masing dikendalikan oleh Augustus, seorang kaisar senior, dan dibantu oleh seorang Caesar, seorang kaisar junior.
Namun, terlepas dari daya tarik teoretisnya, sistem Tetrarki mempunyai kesulitan dalam praktiknya.
Setelah Diocletian dan Maximianus turun tahta pada tahun 305 M, konflik meletus mengenai siapa yang harus mengambil posisi Augusti yang kosong.
Periode ini, yang dikenal sebagai Perang Tetrarki, pada akhirnya menyaksikan Konstantinus Agung muncul sebagai pemenang, yang mengarah pada konsolidasi kekuasaan sekali lagi di bawah satu kaisar.
Meskipun Tetrarki pada akhirnya gagal membangun sistem multi-kaisar yang bertahan lama, Tetrarki masih berperan penting dalam mengakhiri Krisis Abad Ketiga.
Hal ini mengantarkan pada periode yang relatif stabil, yang didukung oleh reformasi administratif, militer, dan ekonomi yang dilakukan Diokletianus.
Selain itu, perubahan-perubahan yang diterapkan pada periode ini mengubah sifat jabatan kekaisaran dan struktur kekaisaran, menjadikannya lebih otokratis dan birokratis.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR