Nationalgeographic.co.id—Sebelum Kekaisaran Romawi berbentuk monarki yang dipimpin kaisar, kerajaan ini salah satu republik tertua dalam sejarah. Alih-alih penguasanya satu orang kaisar, Republik Romawi diperintah oleh dua konsul.
Calon konsul dapat diusung oleh Senat dan dipilih lewat pemilu oleh Comita Centuria untuk menjabat selama satu tahun. Selain itu, Konsul dapat memveto (membatalkan keputusan) keputusan konsul lain.
Sementara itu, keduanya sangat bergantung pada badan Comita Centuria. Komite ini berwenang dalam pengesahan undang-undang, memilih hakim, merencanakan perang, pertimbagnan ajuan banding, dan hubungan luar negeri.
Dengan demikian, dalam posisi politik, konsul tidak begitu kuat dibandingkan anggota Senat. Jika disejajarkan dengan era Kekaisaran Romawi, Senat era republik setara dengan kaisar.
Anggota Senat berasal dari kelas bangsawan Romawi. Untuk mendapatkan kursi, mereka harus bersaing di tribun dari Kaum Plebeian, kelas pekerja yang bertindak dalam kapasitas resmi pemerintahan.
Meski sistem republik ini cenderung demokratis, Kekaisaran Romawi periode ini begitu lemah secara internal dalam perebutan kekuasaan. Terdapat beberapa diktator semasa republik, yang oleh para ahli sejarah di bidang Kekaisaran Romawi, lebih berkuasa dibandingkan kaisar masa monarki.
Kebangkitan Para Diktator Republik Romawi
Antara 501 dan 202 SM, Republik Romawi telah mengalami 85 kali kediktatoran, namun hanya sedikit yang populer dalam ingatan sejarah karena kurang prestasi.
Diktator dapat diangkat--bukan dipilih lewat pemilu--sebagai satu-satunya hakim yang sangat berperan dalam roda pemerintahan.
Pengangkatan diktator memiliki aturan tidak jelas, ada banyak alasan. Misalnya, mantan konsul Lucius Quinctius Cincinnatus yang menjadi diktator sejak 458 SM. Atau, mantan konsul Tribun Marcus Furius Camillus yang menjadi diktator pada 396 SM. Keduanya diangkat sebagai diktator kala Republik Romawi sedang berperang.
Diktator seharusnya menjabat selama enam bulan, setengah dari masa jabatan konsul. Namun, durasi waktu bisa berubah-ubah karena berbagai faktor, termasuk perebutan kekuasaan atau dewan yang memang memperpanjangnya.
Perubahan masa jabatan ini berarti diktator kerap mengubah sistem pemerintahan secara konstitusional.
Contohnya ada Marcus Furius Camillus bisa menjabat sebagai diktator lima kali. Di masa-masa terakhir Republik Romawi, Julius Caesar pernah menjabat dua kali diktator sejak 49 SM, dan diperpanjang menjadi seumur hidup sejak 44 SM.
Mengakali durasi masa jabatan dengan mengubah kalender mengakibatkan penanggalan Romawi berantakan. Kesemerawutan ini juga yang kelak dibereskan oleh Julius Caesar melalui kalender Julian.
Ada pun posisi diktator sangat berkuasa selama pemerintahan Republik Romawi. Keputusannya tidak dapat diveto atau diajukan banding oleh lembaga pemerintahan lain.
Mereka mengatur negara secara pribadi, termasuk regulasi wajib militer, mengadakan kampanye militer, dan termasuk menganiaya musuh negara.
Diktator tidak bisa dimintai pertanggungjawaban selama bertugas, meski masa kekuasaannya telah berakhir.
Kewenangan diktator dapat menjadi pengganti konsul dengan catatan telah ditunjuk oleh Comita Centuria.
Pengalaman ini pernah terjadi pada masa Quintus Ogulnius Gallus yang menjadi diktator sebagai pengganti konsul untuk memimpin festival keagamaan yang menghormati Yupiter pada n 257 SM. Konsulnya sendiri tengah bertempur dalam Perang Punisia Pertama.
Kala diktator menjadi kaisar
Kejatuhan sistem republik pada Romawi bukan hanya karena adanya Julius Caesar yang menjadi diktator seumur hidup, dan perebutan kuasa triumviratnya bersama Pompey Magnus, dan Marcus Licinius Crassus.
Posisi diktator sempat dibekukan selama 120 tahun. Ada berbagai alasan, salah satunya karena kekhawatiran para Senat akan adanya kemunduran kebebasan sipil Republik Romawi dengan jabatan ini.
Sebelum ditiadakan, diktator sebelumnya adalah Gaius Servilius Geminus yang ditunjuk pada 202 SM.
Jabatan ini dihidupkan lagi oleh jenderal Lucius Cornelius Sulla yang menjabat sebagai diktator pada 81 SM dengan ditunjuk oleh dirinya sendiri.
Dia diangkat setelah memenangi perang saudara yang terjadi di Republik Romawi selama 10 tahun.
Sulla segera menggunakan jabatan diktatornya untuk menghancurkan opisisi dan memperkuat konstitusi Republik. Dia berkuasa selama tiga tahun, lagi-lagi bukan enam bulan.
Apa yang dilakukan Sulla dengan penyelewengan jabatan diktatornya, menjadi pemicu kejatuhan sistem republik pada Romawi. Hal ini mendorong Julius Caesar yang menjadi diktator selanjutnya yang berkuasa "selamanya".
Kewenangan yang kuat inilah yang membuat banyak perebutan kekuasaan setelah Julius Caesar. Kematian diktator terakhir ini menyebabkan perang saudara.
Para jenderal dan politikus yang bertarung berebut kuasa mutlak, seperti Octavianus Agustus menjadi kaisar pertama Kekaisaran Romawi, dengan membenahi sistem politik bersifat monarki mutlak.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR