Commodus juga sangat senang bertarung gladiator. Dia menyerahkan tanggung jawab pemerintahannya kepada serangkaian konsul dan terlibat dalam pesta pora, termasuk 300 selir dan melawan binatang buas di Circus Maximus Romawi.
Rencana Pembunuhan Commodus Kekaisaran Romawi
Pada tahun 182 M, Lucilla, saudara perempuan Commodus, meyakinkan Marcia untuk bergabung dalam komplotan dengan Quadratus untuk membunuh Commodus.
Namun, rencana pembunuhan itu gagal. Lucilla dibuang dan rekan konspiratornya dieksekusi. Sementara itu, Marcia berhasil lolos dari tuntutan.
Setelah istri Commodus, Bruttia Crispina diasingkan dan dibunuh karena perzinahan, Commodus memilih untuk tidak menikah lagi dan mengambil Marcia sebagai selirnya.
Marcia diyakini beragama Kristen dan membujuk Commodus untuk mengambil kebijakan yang berpihak pada umat Kristen. Dia juga meminta untuk menjaga hubungan dekat dengan Victor, Uskup Roma.
Setelah Paus Victor I memberinya daftar yang dia minta termasuk semua orang Kristen yang dihukum karena pekerjaan tambang di Sardinia, dia meyakinkan Commodus untuk mengizinkan mereka kembali ke Roma.
Terlepas dari kenyataan bahwa Marcia bukan istri sah Commodus, dia memperlakukannya seperti istri sah dan karenanya sangat dipengaruhi olehnya.
Prasasti yang ditemukan di Anagnia memberi kesaksian bahwa dewan kota setempat memutuskan untuk membangun sebuah monumen, khususnya untuk memperingati restorasi pemandian atas biayanya.
Untuk merayakan Tahun Baru Romawi pada tahun 192 M, Commodus memutuskan ingin tampil di hadapan rakyat Romawi bukan dari istana dengan jubah ungu tradisional, tetapi dari barak gladiator, dikawal oleh para gladiator lainnya.
Setelah menceritakan rencananya kepada Marcia malam sebelumnya, dia memohon padanya untuk tidak bertindak sembarangan dan mempermalukan Kekaisaran Romawi.
Commodus yang kesal dengan reaksi Marcia, kemudian menceritakan rencananya kepada Aemilius Laetus, Prefek Praetorian, dan Eclectus, pelayannya.
Source | : | thought.co |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR