Nationalgeographic.co.id—Kaisar Hadrianus, yang memerintah dari tahun 117 hingga 138 Masehi, merupakan tokoh penting dalam sejarah karena kontribusinya yang luas pada arsitektur, budaya, dan benteng militer kekaisaran Romawi.
Di sisi lain, masa pemerintahannya juga menandai periode penuh gejolak dalam sejarah hubungan Roma dengan warga Yahudi. Puncaknya adalah pada Pemberontakan Bar Kokhba dan penggantian nama Yudea menjadi Suriah Palaestina.
Pemerintahan dan Kebijakan Hadrianus
Hadrianus terkenal karena upayanya untuk mengkonsolidasikan dan membentengi batas-batas Kekaisaran Romawi, serta proyek-proyek arsitekturnya seperti Tembok Hadrianus di Britania.
Sebagai pencinta seni dan budaya Yunani, kebijakannya secara umum ditujukan untuk menyatukan dan memperkaya kekaisaran.
Namun, menurut Chrsitna Athanasiou, seorang penulis sejarah Yunani, di bawah kepemimpinan Hadrianus Kekaisaran Romawi menerapkan langkah-langkah yang sangat mempengaruhi populasi Yahudi.
Pemberontakan Bar Kokhba
“Peristiwa yang paling menentukan dalam hubungan Hadrianus dengan rakyatnya yang beragama Yahudi adalah Pemberontakan Bar Kokhba (132-136 M), sebuah pemberontakan besar kaum Yahudi terhadap kekuasaan Romawi,” kata Christina.
Dipicu oleh ketegangan agama dan politik, termasuk pelarangan praktik-praktik Yahudi tertentu dan pendirian koloni Romawi di Yerusalem, pemberontakan ini merupakan upaya putus asa untuk meraih kemerdekaan.
Narasi yang luar biasa ini terungkap di sekitar pertarungan sengit untuk memperebutkan kekuasaan antara dua pemimpin yang bertekad kuat.
Di satu sisi berdiri Hadrianus, kaisar yang memimpin Kekaisaran Romawi di puncak kejayaannya, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai dewa. Di seberangnya ada Shim'on, seorang komandan militer Yahudi yang saleh dari sebuah distrik provinsi yang relatif tidak penting.
Seorang Rabbi Yahudi termasyur, Akiba, konon menyaksikan Shim'on memenuhi nubuat Alkitab, beberapa orang menganggapnya sebagai 'Raja Mesias', dan menganugerahkan kepadanya nama 'Bar Kokhba', yang berarti 'Anak Bintang'.
Penyebab utama dan paling mendesak dari pemberontakan ini sering kali berkaitan dengan bagaimana bangsa Romawi memperlakukan Yerusalem dan sisa-sisa Bait Suci Kedua.
Setelah kehancuran Yerusalem dan Bait Suci selama Perang Romawi-Yahudi Pertama (66-73 M), Romawi memulai pembangunan kota pagan baru, Aelia Capitolina, di atas reruntuhan. Selain itu, mereka mulai membangun kuil baru di Bukit Bait Suci.
“Menurut beberapa catatan, orang-orang Yahudi telah dijanjikan sebuah kuil baru dan merasa tertipu saat mengetahui bahwa kuil tersebut akan didedikasikan untuk Jupiter, bukan Yahweh,” kata Christina.
Situasi semakin memanas pada tahun 131 Masehi ketika Tineius Rufus melakukan ritual peletakan batu pertama dengan membajak batas-batas kota. Tindakan ini dianggap oleh banyak orang Yahudi sebagai pelanggaran agama yang berat dan tidak dapat dimaafkan.
Pada tahun 132 M, ketegangan meningkat menjadi konflik besar-besaran di seluruh Bukit Yudea dan Shephelah, yang menandai dimulainya 'Perang Yahudi Kedua' (132-136 M).
Selama periode ini, gerilyawan Yahudi bermodal kegigihan, menantang kehebatan militer Romawi yang tak terkalahkan pada zamannya. Meskipun demikian, mereka mampu mempertahankan perlawanan hingga selama lebih dari tiga tahun. Berbagai taktik gerilya dilakukan, termasuk penyerangan melalui terowongan bawah tanah.
Hebatnya lagi, para pemberontak berhasil mendirikan sebuah negara sementara, dengan Shim’on sebagai presidennya. Bahkan, mereka juga menerbitkan uang mata mereka sendiri dengan memanfaatkan koin Romawi yang telah dimodifikasi dengan simbol-simbol Yahudi.
“Dokumen-dokumen yang ditemukan di gua-gua Gurun Judaea selama tahun 1950-an dan 1960-an, termasuk surat-surat dari Shim'on kepada para pemimpin militernya, menjelaskan gaya kepemimpinannya yang langsung dan kekesalannya terhadap kurangnya ketekunan mereka,” kata Christina.
Pasca pemberontakan, Hadrianus mengambil langkah drastis dengan mengganti nama Yudea menjadi Suriah Palaestina. Hal ini adalah upayanya untuk mengurangi hubungan Yahudi dengan wilayah tersebut.
Langkah ini telah menjadi titik perdebatan dalam memahami warisan Hadrian, karena banyak orang melihatnya sebagai upaya untuk menghapus identitas Yahudi dari catatan sejarah daerah tersebut.
Dampak pada Kehidupan dan Peninggalan Yahudi
Menurut Christina, kebijakan-kebijakan Hadrianus memiliki dampak yang besar pada kehidupan Yahudi dan perkembangan Yudaisme.
“Penindasan terhadap pemberontakan menyebabkan hilangnya nyawa yang signifikan, pengungsian, dan pergeseran pusat kehidupan agama dan budaya Yahudi dari Yudea ke Galilea dan Diaspora,” kata Christina.
Penggantian nama provinsi ini melambangkan pemutusan hubungan dengan masa lalu dan memiliki implikasi jangka panjang terhadap identitas wilayah tersebut.
Pemerintahan Kaisar Hadrianus ditandai dengan pencapaian yang signifikan dalam bidang arsitektur, budaya, dan benteng-benteng militer. Namun, hubungannya dengan warga Yahudi dikenang karena konflik yang muncul dari kebijakannya.
Pemberontakan Bar Kokhba dan penggantian nama Yudea menjadi Suriah Palaestina merupakan peristiwa penting yang membentuk kembali sejarah wilayah tersebut dan meninggalkan warisan yang kompleks terkait pemerintahan Hadrianus.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR