Ketika Sharif Hussein, Emir Mekkah saat itu, mengkhianati Kesultanan Utsmaniyah dengan bekerja sama dengan pasukan Inggris, Zenci Musa mengikuti Esref Bey. Esref memimpin batalion militer ke Hijaz untuk menghadapi kemajuan invasi Inggris. Namun Esref jatuh ke tangan pasukan Badui.
Setelah pergerakan ke Hijaz yang gagal, Zenci Musa kembali ke Istanbul, di mana ia mengalami masa-masa sulit. Jenderal militer Ottoman terkenal lainnya, Ali Sait Pasha, pernah melihatnya di jalan dan menawarinya uang pensiun karena keberaniannya yang luar biasa.
Zenci Musa menolak tawaran tersebut. Dan seperti ditulis di TRT World, Zenci Musa mengatakan, “Saya tidak bisa menerima gaji dari negara miskin ini.”
Pada tahun 1918, ketika penandatanganan Gencatan Senjata Mudros membuka jalan bagi mundurnya Kekaisaran Ottoman dari Perang Dunia I, negara-negara Blok Entente menduduki Istanbul. Para prajurit di bawah komando Jenderal Harrington berpatroli di jalan-jalan Istanbul. Suatu hari, Harrington melihat Zenci Musa di jalan dan bertanya tentang dia.
Tentaranya mengatakan kepadanya bahwa dia adalah 'Zenci Musa' terkenal yang menyulitkan tentara Inggris di Yaman dan menyelundupkan emas Kekaisaran Ottoman dalam jumlah besar. Sadar akan kemahiran militer Zenci Musa, Harrington menawarinya posisi militer.
Musa dengan cepat menolaknya. “Saya hanya punya satu negara: Kekaisaran Ottoman. Saya hanya punya satu bendera: dengan bintang dan bulan sabit. Saya hanya punya satu komandan: Kuscubasi Esref. Ini belum berakhir. Kami akan melanjutkan perjuangan kami.”
Dia mengambil pekerjaan sebagai portir di Gedung Bea Cukai di distrik Karakoy Istanbul. Namun pada masanya, dia menyelundupkan senjata ke Anatolia, yang kemudian digunakan dalam Perang Kemerdekaan Turki.
Pertempuran yang panjang dan sulit dalam perang besar dan perpisahan dari mentornya Esref Bey berdampak buruk pada kesehatan Zenci Musa. Di fase-fase terakhir hidupnya, dia menderita TBC dan menolak dirawat di rumah sakit secara gratis. Zenci Musa meninggal secara diam-diam di sebuah pondok sufi di seberang Sungai Bosphorus di sisi Asia Istanbul yang dulu pernah pernah jadi wilayah Kekuasaan Ottoman sebelum menjadi Turki modern.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR