Nationalgeographic.co.id - Marga Han adalah satu dari empat marga Tionghoa peranakan di Jawa dalam sejarah yang sangat kaya. Marga ini pun terlibat dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743), kala masyarakat Tionghoa dan Jawa memberontak pada VOC.
"Kebanyakan dari keluarga Han, menjadi para opsir-opsir peranakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dari mulai opsir bergelar letnan, mayor, hingga bahkan kapitan," kata Yeremia Satria Yasobam Elprinda.
Sebagai mahasiswa Magister Sejarah, Universitas Diponegoro, Yeremia menelisik tentang peranan peranakan Tionghoa di Jawa Timur. Dia menjelaskan bahwa keluarga Han merupakan yang cukup berperan dalam laju sejarah, sejak Peristiwa Geger Pecinan hingga akhir pemerintahan Hindia Belanda.
Yeremia menjelaskan bahwa leluhur marga Han di kalangan peranakan Tionghoa di Jawa berasal dari masa menjelang Geger Pacinan. Leluhur mereka adalah Han Siong Kong (Han Chun Du). Han Siong Kong sendiri merupakan generasi ke-21 dari marga Han dari Tianbao, Fujian, Tiongkok semasa Dinasti Ming.
Tanpa alasan yang jelas, Han Siong Kong berlayar dari Tiongkok ke Jawa dengan mendarat di Lasem. Dengan demikian, Lasem menjadi jejak pertama marga Han yang kini tersisa kejayaannya pada rumah abunya.
Berbeda dengan keturunannya, Han Siong Kong sendiri "datang dalam keadaan miskin," terang Yeremia. Tidak diketahui kapan ia mendarat di Lasem, namun Han Siong Kong memperistri putri Tumenggung dari Kadipaten Rajegwesi (Bojonegoro). Dia menetap di Lasem sampai akhirnya wafat di Rajegwesi pada 1743.
Kelak, keturunan Han Siong Kong akan menyebar pengaruhnya di Jawa. Yeremia menjelaskan bahwa keluarga Han sendiri membagi dua jenis keluarganya menjadi Han Putih dan Han Hitam. Han Putih adalah anggota keluarga Han yang bergiat di dalam pengelolaan pabrik gula dan produksinya. Han Hitam lebih terlibat dalam birokrasi pemerintahan dan dunia pendidikan.
Mitos Keluarga Han
Dalam sebuah artikel bertajuk "The Han Family of East Java Entrepreneurship and Politics (18th-19th Century) di jurnal Archipel tahun 1991 oleh Claudine Salmon, ada banyak mitos legenda yang mengiringi keluarga Han. Mitos ini bahkan merujuk masa setelah kematian Han Siong Kong.
Terdapat tradisi lisan yang dipercaya oleh keluarga Han. Disebutkan bahwa pada saat Han Siong Kong dimakamkan, terjadi hujan dan petir hebat yang membuat petinya dibiarkan teronggok. Anehnya, peti mati tersebut terkubur secara misterius.
Konon, arwah Han Siong Kong mengutuk keturunannya karena tidak berbakti. Sejak saat itu, sebagian dari keluarga Han meninggalkan Lasem.
Baca Juga: Menjadikan Arsip Museum Nyah Lasem Sebagai Memori Kolektif Bangsa
Han Siong Kong memiliki tujuh anak, terang Yeremia. Dua anak mereka, Han Tjoe Kong dan Han Kieng Kong menetap di Lasem. Tiga lainnya punya kedudukan penting dalam sejarah, seperti Han Tjien Kong, Han Hing Kong, dan Han Bwee Sing (Han Bwee Kho/Han Bwee Kong).
Ketika Yeremia menyambangi Rumah Abu Keluarga Han di Surabaya, dia bertemu dengan Robert Rosihan, pewaris bangunan tersebut. Disebutkan bahwa ada Han Tjien Kong dan Han Bwee Kong punya peranan besar dalam sejarah.
Han Tjien Kong menjadi orang pertama dari keluarganya yang memeluk Islam. Dia lahir di Rajegwesi pada 1720 dan wafat pada 1776. Ketika menginjak usia dewasa, setelah mualaf, Han Tjien Kong mendapat gelar Ingabehi Raden Rangga Soero Prenollo dengan nama lain Muchsin.
"Setelah kematian ayahandanya, dari Lasem ia berpindah ke ke wilayah Ooesthoek Java (sudut timur), yaitu di Besuki. Kemudian dari Besuki dipindahkan (oleh VOC) ke Panarukan," terang Yeremia. Tokoh ini menjadi orang kepercayaan pejabat tinggi VOC, Hendrik Bretton.
Sementara, adik dari Raden Rangga Soero Prenollo yang lebih dikenal dengan Han Bwee Kong menjadi Kapiten Tionghoa di Surabaya. Dia lahir di Rajegwesi pada 1727 dan wafat di Pasar Bong, Bongkaran, Surabaya.
"Kedua anak dari Han Siong Kong inilah yang kemudian melahirkan keluarga opsir-opsir Tionghoa peranakan di Jawa yang memainkan peranan besar dari abad ke-18 hingga abad ke-19 di Jawa, khususnya di Jawa Timur," terang Yeremia.
Kakak-Adik Han Tjien Kong dan Han Bwee Kong
Ada satu mitos lagi yang sangat terkenal tentang keluarga Han dari Lasem. Disebutkan bahwa seorang anggota keluarga bernama Han Wee Sing mengutuk keluarganya. Kutukan ini disebabkan dua putranya yang menghamburkan harta dan uang mendiang ayahnya.
"Bahkan, kisah itu juga mengisahkan bahwa uang dari para pelayat yang melayat ke rumah duka sendiri dipakai sampai habis di atas meja judi oleh kedua putra Han We Sing sendiri," terang Yeremia. Kedua putra itu bernama Han Te Su dan Han Te Ngo.
Yeremia berpendapat bahwa kisah ini merujuk pada Han Siong Kong dan kedua putranya yang sangat penting: Han Tjien Kong dan Han Bwee Kong. "Karena klop sekali dengan cerita yang saya dapat dari informan, owner rumah abu keluarga Han di Surabaya," jelasnya.
Baca Juga: Jagad Phoenix Lasem di Pekan Kebudayaan Nasional, Siap Mendunia!
Mayor Tionghoa Keturunan Han Bwee Kong
Sebagai opsir Tionghoa, Han Bwee Kong meninggalkan jejak warisan bersejarah di Surabaya, termasuk rumah keluarga Han di Surabaya. Ketika kakaknya wafat, Han Bwee Kong memberikan lokasi di sekitar Pasar Bong sebagai makamnya. Berikutnya, ketika Han Bwee Kong wafat, dirinya dimakamkan dekat dengan makam kakaknya.
Kedua anak Han Bwee Kong, yakni Han Chan Piet dan Han Kik Ko menjadi Mayor Tionghoa. Han Chan Piet sempat menjadi wakil ayahnya dengan gelar Letnan. Kemudian menggantikan ayahnya yang wafat sebagai Kapitan Cina Surabaya. Posisi itu dirangkap pada 1796 dengan menjadi Pachter seumur hidup untuk Besuki dan Panarukan oleh VOC.
Sedangkan Han Kik Ko menjadi tuan tanah di berbagai wilayah di Jawa Timur, termasuk pinggiran Surabaya. Dia juga menjadi pelopor industri gula Jawa Timur. Han Kik Ko pun sempat menjadi Mayor Tionghoa dan Bupati Probolinggo dengan gelar Temenggung.
Han Kik Ko wafat pada 1813, ketika menjamu pejabat kolonial Inggris. Kala itu, pemeberontakan menentang Inggris di bawah pemerintahan Stamford Raffles merangsek ke tanah kekuasaan Han Kik Ko. Han terbunuh dalam pemberontakan itu, bersama tamu-tamunya.
Keturunan Keluarga Han Muslim dari Han Tjien Kong
Han Tjien Kong memiliki beberapa anak yang kelak menjadi tokoh pembesar Islam selama periode VOC dan kolonialisme Hindia Belanda. Kebanyakan keturunan marga Han yang beragam muslim lebih banyak tinggal di sepanjang pesisir utara Jawa Timur seperti dari Sidoarjo, Bangil, Tuban, Gresik, Surabaya, hingga Banyuwangi.
Anak-anak Han Tjien Kong punya posisi penting sebagai pembesar politik dan agama Islam. Misalnya, Babah Sam atau Han Sam Kong yang masuk ke dunia pemerintahan sejak 1772 oleh VOC. Nama Jawanya adalah Soemodiwirjo. Kedudukan jabatan politik ini diperbantukan oleh pamannya, Han Bwee Kong yang menjadi Kapitan Cina Surabaya.
Pada 1788, Han Sam Kong dianugerahi gelar Tumanggung Soero Adinegoro. Kelak, ia menjadi Adipati dan bupati Malang pada 1809 oleh Hermann Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Beriktunya juga ada Kyai Soero Adi Wikromo. Putra Han Tjien Kong ini menjadi Ronggo Besuki yang kemudian menjadi Bupati Puger. Dia mengadakan sensus penduduk Puger sebagai upaya penarikan pajak. Pada 1798, Soero Adi Wikromo berpindah tugas ke Besuki hingga wafat pada 1801.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR