Nationalgeographic.co.id—Sering kali, ketika berbicara tentang Romawi kuno paling awal, batas antara fakta dan fiksi sulit untuk dibedakan. Coriolanus, jenderal dan negarawan Romawi legendaris, adalah contoh yang sempurna.
Kisahnya dimulai sebagai seorang pahlawan perang yang tak tertandingi, dan sangat dihormati. Namun, aliran waktu mengubahnya menjadi sosok yang dulu dihormati menjadi pengkhianat bengis.
Coriolanus mengambil keputusan untuk memimpin barisan musuh-musuh terbesar Republik Romawi menuju pintu gerbangnya. Namun, di tengah kehancuran yang diciptakannya, bisakah kita menemukan benang kebenaran yang tersembunyi di balik kisahnya yang kelam?
Para sejarawan kuno tentu saja mempercayainya, tetapi sejarawan modern kurang yakin. Untuk menemukan Coriolanus yang sebenarnya, orang di balik mitos tersebut, kita harus mundur selangkah dan memeriksa kisahnya dengan mata yang segar.
“Dengan meneliti kemenangan militernya, perjuangan politiknya, dan kepribadiannya yang penuh teka-teki, kita bisa menyingkap lapisan-lapisan legenda yang menyelimuti Coriolanus dan, mungkin, mengungkap kebenaran ikon Romawi ini,” kata Robbie Mitchel, seorang penulis sejarah dari Inggris.
Penciptaan Sebuah Legenda
Gnaeus Marcius Coriolanus, demikian nama lengkapnya, berasal dari bagian yang benar-benar tua dalam sejarah Romawi Kuno. Oleh karena itu, sedikit sekali informasi tentangnya.
Menurut Robbie, apa yang kita miliki saat ini adalah hasil penggabungan dari berbagai sejarawan kuno yang cenderung menulis secara terpisah, memperindah, dan karena itu tidak sependapat.
Sebagai permulaan, Robbie menjelaskan, “bahkan ada ketidaksepakatan tentang namanya. Sementara sebagian besar sejarawan Romawi, seperti Livy, menyebutnya Gnaeus, sejarawan Yunani Dionysus menyebutnya Gayus.”
Adalah kabar buruk untuk sebuah akurasi sejarah ketika para sejarawan bahkan tidak menyepakati nama seorang tokoh.
Demikian pula, tidak banyak yang diketahui tentang kehidupan awal Coriolanus. Kita tahu bahwa dia aktif sebagai Jenderal Romawi selama abad kelima SM, tapi selain itu, asal-usulnya tidak banyak diketahui.
Baca Juga: Benarkah Ibu Mertua Begitu Dibenci dalam Sejarah Romawi Kuno?
Menurut tradisi Romawi, Coriolanus pertama kali menjadi terkenal ketika bertugas di bawah konsul Postumus Cominius selama penyerangan tahun 493 SM di kota Volcani, Corioli.
Dengan pasukan yang jauh lebih sedikit, Coriolanus memanfaatkan peluang-peluang kecil untuk menangkis serangan pasukan Corioli yang berjumlah besar. Tak hanya itu, ia dan pasukannya juga berhasil menembus gerbang kota.
Volcians adalah suku Itali kuno dan musuh bersejarah Roma–meskipun pada akhirnya dikalahkan–yang memiliki kebiasaan untuk membuat orang Romawi lari terbirit-birit pada tahun-tahun awal Republik.
Pahlawan menjadi Penjahat
Masa kejayaan Coriolanus tidak berlangsung lama. Dua tahun kemudian, Roma mulai pulih dari kekurangan pasokan makanan yang menyebabkan kesengsaraan bagi penduduknya.
Kekurangan tersebut diatasi dengan impor gandum dari Sisilia, namun Senat harus memperdebatkan bagaimana gandum tersebut akan didistribusikan.
Siapa yang akan mendapatkannya lebih dulu? Coriolanus berasal dari kalangan atas dan selalu menunjukkan sikap meremehkan rakyat jelata.
Menurut sumber-sumber kuno, sebagaimana Robbie jelaskan, ia berpendapat bahwa rakyat tidak boleh menerima biji-bijian sampai jabatan Tribune, sebuah produk reformasi politik yang pro rakyat jelata, dihapuskan. Hampir tidak ada yang setuju dengannya.
“Senat merasa dia terlalu keras dan kemungkinan besar takut akan membuat rakyat semakin marah. Di sisi lain, para tribunus sangat marah dan mengadili Coriolanus,” jelas Robbie.
Coriolanus menanggapi pengasingannya dengan menjadi pengkhianat. Dia melarikan diri dari Roma dan lari ke Volcans, yang dengan senang hati menambahkan salah satu jenderal yang paling ditakuti di Roma ke dalam barisan mereka.
Bahkan, mereka sangat senang memilikinya sehingga ketika tiba di tanah Volscia, dia diduga tinggal bersama pemimpin Volscia, Attius Tullus Aufidius.
Coriolanus dan Aufidius kemudian bekerja sama dan membujuk bangsa Volcani untuk melanggar gencatan senjata yang baru saja mereka sepakati dan menyerang Roma.
Mereka melancarkan serangan terhadap kota-kota Romawi, koloni, dan sekutunya. Serangan ini sangat berhasil. Bahkan, mereka melengkapi kemenangannya dengan merebut beberapa kota penting lainnya seperti Lavinium, Corbio, dan Trebia.
Kini mereka berencana untuk mengepung Roma sendiri. Pasukan Romawi telah bersiap-siap untuk mempertahankan kota. Di sisi lain orang-orang Plebeian ingin menuntut perdamaian.
Namun Coriolanus bukanlah tipe pemaaf. Beberapa kali senat mengajukan permohonan damai dan selalu berujung penolakan.
Pada akhirnya, ibu Coriolanus sendiri, Veturia, dan istrinya, Volumnia, terpaksa turun tangan bersama kedua putranya. Mereka mengunjungi kampnya dan memohon agar ia menghentikan serangannya. Hal ini tampaknya berhasil dan Coriolanus mengakhiri pengepungannya.
“Apa yang terjadi pada Coriolanus selanjutnya masih belum jelas, dengan berbagai sumber yang memperdebatkan apa yang terjadi selanjutnya.,” jelas Robbie. “Versi yang paling terkenal menyatakan bahwa dia pensiun ke Antium.”
Fakta atau Mitos?
Ada banyak perdebatan mengenai apakah Coriolanus adalah sosok nyata, mitos, atau sesuatu di antaranya. Sejarawan kuno seperti Livy, Plutarch, dan Dionysius jelas mempercayainya, namun banyak sejarawan modern yang skeptis.
Mengapa skeptis? Sebagian besar bermuara pada kurangnya sumber-sumber kontemporer yang dapat diandalkan.
Catatan pertama tentang kehidupan Coriolanus berasal dari abad ketiga sebelum masehi, dua ratus tahun setelah ia meninggal. Mengapa butuh waktu begitu lama untuk menulis tentang peristiwa besar dan kehidupan tokoh penting dalam sejarah Roma?
Pada saat yang sama, tampaknya tidak mungkin dia sepenuhnya palsu. Sebagian besar sejarawan modern setuju bahwa dia kemungkinan adalah tokoh sejarah yang nyata, namun ceritanya sangat dibumbui karena seiring berjalannya waktu, fakta dan legenda saling terkait.
Source | : | Historic Mysteries |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR