Kaisar Hirohito dan Perdana Menteri Tojo baru mengundang perwakilan Indonesia setelah konferensi, namun tiada tanda-tanda akan kemerdekaan.
Titik balik dukungan Jepang untuk kemerdekaan
Posisi Jepang semakin terdesak dalam Perang Dunia II. Ragam pertempuran justru berbuah pada kekalahan Jepang yang semakin hari semakin menguntungkan Sekutu.
Hal ini membuat Perdana Menteri Tojo mengundurkan diri dan digantikan dengan kabinet yang dipimpin Jenderal Kuniaki Koiso pada 1 Juli 1944. Pemerintahan baru mulai mempertimbangkan kembali kemerdekaan Indonesia, alih-alih tergabung dalam Kekaisaran Jepang.
Jenderal Koiso menghubungi pihak Pemerintahan Militer yang ada di Jawa dan Sumatra dalam sejarah Indonesia. Hanya saja, pertemuan itu memasuki jalan buntu untuk menyepakati kemerdekaan. Akibatnya, janji Jepang ketika datang masih menjadi harapan yang belum jelas.
Ada yang berpihak untuk kemerdekaan seluruh Indonesia, menyetujui kemerdekaan hanya untuk Jawa saja, atau tidak diberikan sama sekali. Pertentangan juga terjadi antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Laksamana Maeda dari Angkatan Laut adalah salah satu yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia.
Kementerian Luar Negeri membuat dokumen mengenai beberapa poin kajian kemerdekaan pada 5 Agustus 1944. Isinya, yakni demi mendukung popularitas bumiputra, mengembangkan kekuatan Asia Timur Raya, dan memanfaatkan posisi untuk keperluan perang.
Dokumen tersebut kemudian menjadi Deklarasi Koiso pada 4 September 1944. "Perdana Menteri Koiso mengumumkan 'kemerdekaan bagi Hindia Timur pada masa depan,' akan tetapi dengan sengaja tidak menyebutkan wilayah yang termasuk ke dalam negara merdeka ini," terang Kurasawa.
Angkatan Laut, termasuk Maeda, berpendapat agar kemerdekaan Indonesia mencakup seluruh bekas Hindia Belanda, kecuali Pulau Papua. Pendapat ini tidak disetujui Angkatan Darat dan Kementerian Luar Negeri Jepang.
Jepang menggagas siapa yang memimpin negara Indonesia, pilihannya antara Sukarno dan Hatta bersama pemimpin nasionalis terkemuka, Sultan atau raja bumiputra seperti Sultan Yogyakarta, serta pemimpin Islam.
Baca Juga: Kelaparan Hebat Akibat Politik Beras Zaman Pendudukan Jepang
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR