Bantuan dari Turki tiba di Aceh berupa senjata, dan 300 ahli profesional dalam bidang teknik, militer, ekonomi, dan hukum konstitusi. Di antara senjata yang dikirim adalah sebuah meriam besar yang dikenal sebagai Meriam Lada Secupak.
Dikatakan bahwa delegasi yang dikirim oleh Kesultanan Aceh harus menunggu lama untuk diterima di istana Turki Utsmaniyah.
Akibat menunggu terlalu lama, lada yang dibawa dari Aceh untuk diserahkan ke Turki harus dijual sedikit demi sedikit di pasar Turki untuk membiayai hidup mereka di sana.
Ketika istana Turki akhirnya mengizinkan utusan Aceh bertemu dengan Khalifah, mereka mempersembahkan lada secupak disertai dengan permintaan maaf. Justru karena kejadian ini, Turki Utsmaniyah terharu dan bersedia membantu.
Untuk mengenang kejadian ini, meriam yang diberikan oleh Sultan Turki Sulaiman Khan (1523-1566) kemudian dinamakan Meriam Lada Secupak.
Aliansi dengan Kekaisaran Ottoman (Kesultanan Utsmaniyah) sangat bermanfaat bagi Aceh. Turki mendapatkan lada dari Aceh.
Selain itu, mereka bekerja sama dalam sumber daya manusia, amunisi, dan senjata api. Juga, banyak pengrajin dari berbagai negara tinggal di Aceh, termasuk dari Turki, Cina, dan India.
Tidak hanya itu, banyak guru dari Turki yang tinggal di Aceh. Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (berkuasa 1607-1636) di masa mudanya dididik oleh Khuja Manasseh, seorang profesor dan ahli bahasa dari Turki.
Dari Khuja Manasseh, calon raja ini belajar bahasa Arab, Turki, Portugis, Belanda, dan Inggris. Selama masa pemerintahannya, Aceh mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
Beberapa nama ulama besar di Nusantara saat itu antara lain Hamzah Fanshuri, Syamsuddin Pasai, Sheikh Nuruddin Ar-Raniry, dan Shaykh Abdurrauf Singkel (Tengku di Kuala).
—Kisah ini merupakan bagian Kabar dari Selat Malaka, laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024, Kemendikbudristek.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR