Organisasi-organisasi ini adalah Jam'iyat Khoir yang didirikan pada 17 Juli 1905 oleh keturunan Arab.
Kontribusi gerakan Islam ini dipublikasikan di surat kabar dan majalah di Istanbul, termasuk majalah Al-Manar.
Khalifah Abdul Hamid II, yang tinggal di Istanbul, pernah mengirim utusannya ke Indonesia, bernama Ahmed Amin Bey, atas permintaan asosiasi tersebut untuk menyelidiki situasi umat Islam di Indonesia.
Akibatnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda melarang orang Arab mengunjungi wilayah tertentu.
Selanjutnya, organisasi gerakan Islam lainnya yang muncul sebagai tanggapan positif terhadap unifikasi ini adalah Syarikat Islam.
Pengibaran bendera Turki Utsmaniyah pada Kongres Nasional Sarikat Islam di Bandung pada tahun 1916, sebagai simbol solidaritas di antara umat Islam dan penentangan terhadap kolonialisme, menunjukkan hal ini.
Saat itu, salah satu upaya yang dilakukan oleh Khalifah Utsmaniyah adalah menyebarkan seruan jihad atas nama Khalifah kepada seluruh umat Islam, termasuk Nusantara, yang dikenal sebagai Jawa.
Hubungan Formal antara Aceh dan Kekaisaran Utsmaniyah
Setelah Portugis menangkap Malaka pada tahun 1511, Samudra Pasai tumbuh menjadi pelabuhan utama yang dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negara.
Orang Keling (India dari Kalinga), orang Rum (dari Roma, artinya Istanbul, Turki), Arab, Persia, Gujarat, Melayu, Jawa, Siam, dll, berinteraksi dengan bangsa Melayu dan Muslim dari berbagai negara, termasuk Turki Utsmaniyah.
Surat kabar Turki yang diterbitkan pada saat pecahnya perang antara Aceh dan Belanda (1875) menceritakan bahwa pada tahun 1516 Sultan Aceh Firman Syah telah menghubungi Siman Pasya, Wazir Sultan Salim I, untuk menjalin persahabatan.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Kapan Sebenarnya Konstantinopel Berubah jadi Istanbul?
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR