Nationalgeographic.co.id—Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menggelar pelatihan penanganan mamalia laut terdampar di Desa Kembung Luar, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Pelatihan ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat pesisir agar dapat memberi perlakuan yang tepat ketika berjumpa dengan mamalia laut.
Dari 128 spesies mamalia laut di bumi, 35 di antaranya hidup di wilayah Nusantara. Seluruh spesies mamalia laut itu telah diklasifikasikan sebagai hewan dilindungi karena keberadaannya yang kini semakin rentan, baik karena aktivitas manusia maupun kerusakan lingkungan.
Pulau Bengkalis adalah salah satu kawasan yang menjadi tempat tinggal bagi setidaknya 3 spesies mamalia laut, mulai dari lumba-lumba, pesut, hingga dugong. Ketiga spesies tersebut terkadang menampakkan wujudnya kepada para nelayan.
Akan tetapi, perjumpaan antara manusia dan mamalia laut terkadang tidak disikapi dengan pengetahuan yang memadai. Momen tersebut biasanya terjadi ketika mamalia laut tersangkut di jaring nelayan atau terdampar di pantai.
Berdasarkan pengakuan beberapa nelayan setempat, mamalia laut hidup yang terdampar terkadang diupayakan agar bisa selamat. Namun jika tidak selamat, mamalia laut tersebut akan dikonsumsi.
Sejumlah masyarakat pesisir masih meyakini bahwa bagian tubuh mamalia laut dapat memberi manfaat kesehatan, walau belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan hal tersebut. Hal ini terjadi karena masyarakat pesisir masih belum dibekali dengan pengetahuan terkait mamalia laut dan cara menyikapinya.
Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang, Rahmat Hidayat, menjelaskan, “Daging mamalia laut sebetulnya tidak boleh dikonsumsi manusia. Mungkin saja mamalia laut tersebut membawa suatu penyakit yang dapat ditularkan ke mamalia lain apabila dikonsumsi.”
Peristiwa terdamparnya mamalia laut telah terjadi beberapa kali di kawasan restorasi mangrove yang dibuat YKAN bersama masyarakat Desa Teluk Pambang di pesisir timur Pulau Bengkalis. Rahmat menerangkan, “Mamalia laut secara tidak langsung juga mendapat manfaat dari hutan mangrove. Hutan mangrove adalah tempat pemijahan ikan-ikan, yang kemudian akan menjadi rantai makanan mamalia laut.”
Oleh karena itu, YKAN merasa perlu melakukan edukasi terkait penanganan mamalia laut bagi masyarakat pesisir. “Bengkalis memiliki ekosistem yang unik. Tak hanya mangrove, melainkan juga mamalia laut. Terkadang makhluk tersebut ditemui dalam kondisi tertangkap atau terdampar. Oleh karena mamalia laut merupakan spesies dilindungi, kami ingin sama-sama belajar dengan masyarakat pesisir Bengkalis untuk bisa melakukan aksi penyelamatan bagi mamalia laut yang tertangkap dan terdampar,” ujar Manajer Senior Ketahanan Pesisir YKAN, Mariski Nirwan.
Baca Juga: Dunia Hewan: Dugong si 'Sapi Laut' Dinyatakan Telah Punah di Tiongkok
Kegiatan pelatihan bertajuk “Pelatihan Penanganan Mamalia Laut Tertangkap dan Terdampar” ini dilaksanakan pada 6–7 Agustus 2024 dan dihadiri oleh 30 peserta dari 6 desa pesisir timur Pulau Bengkalis, yaitu Desa Teluk Lancar, Kembung Baru, Teluk Pambang, Pambang Pesisir, dan Muntai.
Dalam pelatihan ini, YKAN bekerja sama dengan BPSPL Padang. BPSPL Padang memberikan pembekalan melalui materi kelas dan praktik lapangan. Mareri kelas meliputi pre-test, pengenalan mamalia laut, peraturan, penanganan terhadap mamalia laut dalam berbagai kondisi, praktik lapangan simulasi penanganan mamalia laut yang dilakukan di pantai, teknik pendokumentasian, serta post-test.
Kegiatan pelatihan ini mendapat sambutan positif dari para peserta. Pemahaman yang diberikan oleh BPSPL Padang di hari pertama menggugah seorang peserta yang ternyata mengoleksi bagian tubuh dugong di rumahnya. Peserta tersebut, Hamdan, menyerahkan tulang dan sirip dugong kepada BPSPL Padang selaku pihak yang berwenang, serta menyampaikan permohonan maaf atas ketidaktahuannya.
“Setelah kami mendapat pembinaan (dari YKAN dan BPSPL Padang), dengan ini kami menyatakan penyesalan dan kesalahan kami. Kami secara tidak sengaja telah menyebabkan kematian dugong. Dengan ini kami menyerahkan koleksi [dugong] yang kami simpan. Kami juga sampaikan kepada rekan-rekan, khususnya di Bengkalis dan seluruh Indonesia, untuk tidak mengoleksi dan menangkap, atau merusak habitat hewan-hewan yang dilindungi,” ujar Hamdan, nelayan asal Desa Teluk Pambang.
Larangan untuk menyimpan bagian tubuh hewan dilindungi telah diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU 5/1990”) terkait larangan memperniagakan, menyimpan, atau memiliki tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi.
Rahmat Hidayat, fasilitator BPSPL Padang, menanggapi, “Ini adalah momen penting bagi kita, bahwa perlindungan dan pelestarian mamalia laut merupakan tanggung jawab semua pihak, baik masyarakat, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Semoga kesadaran bapak-bapak ini bisa menular.”
Pengakuan peserta tersebut merupakan hal yang patut diapresiasi. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi yang disampaikan dengan baik ternyata dapat diterima positif oleh masyarakat pesisir. Oleh karena itu, edukasi semacam ini mungkin perlu dilakukan di lebih banyak lokasi yang menjadi tempat terdampar atau tertangkapnya mamalia laut.
Mariski Nirwan menyatakan, “Terus terang saya tidak menyangka terkait penyerahan ini (koleksi tulang dan sirip mamalia laut). Saya sangat terharu bahwa bapak dan ibu di sini sudah tumbuh kesadarannya dan mengoreksi ketidaktahuannya.”
Sekar Mira, peneliti mamalia laut dari Pusat Riset Oseanografi BRIN, menjelaskan bahwa penanganan mamalia terdampar adalah hal penting yang perlu ditangani. “Kejadian terdampar membawa potensi gangguan lingkungan berupa cemaran bau dan penularan penyakit melalui hewan (zoonosis). Selain itu kejadian terdampar adalah jendela adanya gangguan di ekosistem perairan kita," ujarnya.
"Mamalia laut adalah sentinel spesies yang keberadaannya dapat menjadi benteng kesehatan perairan. Apa yang mengganggu kesehatan mereka di perairan adalah juga gangguan bagi kita manusia," tegas Mira.
"Dari nekropsi (atau pemeriksaan bangkai) kita dapat melihat gangguan lingkungan yang mungkin menjadi penyebab kematian mamalia laut tersebut. Hal ini dapat berupa indikasi adanya interaksi dengan alat-alat perikanan yang tidak ramah mamalia laut, hingga polusi perairan baik fisik maupun kimiawi.”
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR