"Islam dan Kristen bisa bercampur dalam kehidupan nasional, hanya jika Pan-Islamisme dimarjinalkan. Dan kita dapat melihat manfaat dari kondisi ini untuk tujuan kita."
Menurut pendapat Snouck Hurgronje di atas, ia menunjukkan bahwa kebijakan kolonial Belanda harus diarahkan pada kesatuan antara orang Indonesia dan Belanda.
Oleh karena itu, ia mencoba menciptakan 'musuh bersama' bernama Pan-Islamisme karena Pan-Islamisme dianggap sebagai ideologi anti-kolonial yang tidak disukainya.
Singkatnya, kita dapat melihat bahwa Pan-Islamisme dari Ottoman di Indonesia menjadi pemicu modernisasi di Indonesia, karena Belanda meluncurkan Politik Etis dan modernisasi di Indonesia terutama di bidang pendidikan ketika negara Ottoman juga meluncurkan proyek modernisasi di Indonesia.
Oleh karena itu, kita harus menyelidiki kembali munculnya Politik Etis di Indonesia. Robert van Niel menganggap bahwa Politik Etis di Indonesia disebabkan oleh perubahan faksi politik di Belanda di mana Partai Liberal telah menguasai politik, sehingga membuka jalan bagi tokoh-tokoh liberal seperti van Deventer untuk meluncurkan 'kewajiban etis dan tanggung jawab moral kepada penduduk Hindia Timur'.
Robert van Niel juga menekankan diskriminasi terhadap orang Indonesia dibandingkan dengan Arab dan Cina yang telah membawa simpati Belanda kepada penduduk asli.
Dengan demikian, pendidikan berbasis sekuler menjadi cara untuk mengintegrasikan modernitas Indonesia yang diawasi oleh Belanda, karena dapat memisahkan modernitas Indonesia jika diawasi oleh Ottoman.
Benedict Anderson melihat pendidikan sekuler sebagai pemicu munculnya 'komunitas yang dibayangkan'. Seperti disebutkan di atas, Taylor dan Anderson menyatakan bahwa salah satu prasyarat munculnya negara modern adalah kewarganegaraan.
Tanpa diragukan lagi, sebuah pemerintah membutuhkan kesetaraan dalam kewarganegaraan tanpa memandang agama.
Ottoman juga mendeklarasikan kesetaraan antara Muslim dan non-Muslim dalam deklarasi Tanzimat sebagai cara untuk menjadi negara modern. Oleh karena itu, Anderson melihat bahwa sekolah-sekolah di Batavia berkontribusi pada kebangsaan di Indonesia.
Sekolah-sekolah pemerintah membentuk struktur yang kolosal, sangat rasional, dan terpusat erat yang analog dengan birokrasi negara. Berkat Politik Etis, orang Indonesia dapat berbaur di Batavia, membaca buku yang sama, dan berbicara dalam bahasa yang sama.
Baca Juga: Kekaisaran Ottoman ‘Menjelajah’ Nusantara dari Ujung Barat ke Timur
Dengan demikian, konsep 'inlander' diubah menjadi 'orang Indonesia'. Jika kita setuju dengan pendapat Anderson, kita mengakui bahwa Politik Etis mempengaruhi kebangsaan orang Indonesia.
Namun, sejarawan lain menyelidiki kembali pendapat Anderson.
Michael Francis Laffan menekankan bahwa kebangsaan orang Indonesia dibentuk oleh hubungan para pelajar Jawi di Hijaz dan Kairo. Dia mengatakan bahwa perdebatan tentang Islam dan modernitas di Kairo pada awal abad ke-20 mempengaruhi para pelajar Indonesia, kemudian mereka membawa wacana tentang kebangsaan ke Indonesia.
"Kebangsaan Indonesia memiliki akar yang lebih dalam dalam ekumenisme Islam di Asia Tenggara kepulauan, yang menjadi lebih nyata melalui kontak dengan baik sesama Muslim di luar dunia itu maupun non-Muslim di dalamnya," ungkap Laffan.
Kesimpulannya, baik pendidikan sekuler maupun Kairo sama-sama mempengaruhi pembentukan nasionalisme di Indonesia.***
Baca Juga: Para Pujangga Kerajaan Jawa Meromantisasi Kekaisaran Ottoman
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR