Dodson juga menambahkan, “Resin digunakan dalam pembalsaman. Resin itu akan digunakan sebagai pengganti perhiasan di tubuh.”
Saat makam Nefermaat, pangeran Mesir kuno, ditemukan pada 1871 di Meidum, arkeolog awalnya mengira makam itu masih utuh. Makam tersebut tertutup rapat selama 4.000 tahun.
Namun, begitu berada di dalam ruang makamnya, pemandangannya kacau. “Semuanya hancur berkeping-keping,” kata Dodson. “Mumi itu telah dirampok dan dihancurkan.”
Setelah merampok, perampok makam kuno beralih ke tahap kejahatan berikutnya. Mereka memperdagangkan barang curian dengan imbalan pembayaran. Menjual harta makam juga memerlukan pemikiran ke depan.
Ketahuan menukar topeng firaun, misalnya, akan menjadi alasan untuk dieksekusi dengan cara ditusuk di tiang pancang. Untuk menghindari nasib ini, para penjahat memburu harta karun yang tidak dapat dilacak. Misalnya emas dan logam mulia lainnya yang dapat dicairkan tanpa diketahui asal-usulnya oleh pembeli.
Dalam beberapa kasus, perampok mencuri minyak wangi yang sangat berharga untuk dijual di pasar internasional. Pencuri juga membakar perabotan dan patung berlapis emas untuk menghilangkan emas yang pernah menghiasinya.
Bukti sejarah perampokan makam berasal dari serangkaian papirus yang merinci persidangan yang berlangsung di Thebes selama Kerajaan Baru. Dokumen hukum tersebut memberikan gambaran tentang orang-orang yang melakukan perampokan secara langsung.
Mereka dengan sengaja memagari harta karun yang dijarah. Perampok juga mengangkut pencuri menyeberangi Sungai Nil untuk menjual temuan sucinya.
“Kami mengambil peralatan tembaga kami dan memaksa masuk ke piramida raja ini melalui bagian terdalamnya,” kata seorang tukang batu bernama Amenpanufer dalam sebuah pengakuan yang berasal dari sekitar tahun 1110 SM.
Setelah merampas emas, jimat, dan permata dari mumi kerajaan, Amenpanufer dan rekan-rekan pencurinya membakar peti mati. Mereka juga mencuri perabotan di makam. Para perampok kemudian membagi-bagi harta rampasan makam di antara mereka sendiri.
Baca Juga: Mumi Mesir Kuno Ternyata Penuh dengan Malaria, Cacing, dan Kutu
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR