Dari empat belas manuskrip silsilah Shattariyyah yang diteliti Sehat, sembilan di antaranya menyebutkan nama al-Kurani sebagai salah satu murshid dari mana rantai otoritas siswa Melayu lainnya dapat ditelusuri.
Tarekat Syattariyah
Sehat Ihsan Shadiqin dalam Di Bawah Payung Habib: Sejarah, Ritual, dan Politik Tarekat Syattariyah di Pantai Barat Aceh yang terbit di jurnal Substantia mengatakan bahwa tarekat Syattariyah di Aceh sendiri merupakan tarekat yang paling populer di Aceh, terutama pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah pimpinan Ratu/Sultanah.
Posisi Aceh sebagai salah satu pusat pendidikan Islam di Nusantara menyebabkan lembaga pendidikannya dikunjungi oleh berbagai pelajar dari dunia Melayu dan Jawa untuk mendalami ilmu agama Islam.
Konon inilah yang menyebabkan Aceh dianggap sebagai “Serambi Mekkah” di mana setiap orang yang hendak belajar ke Mekkah singgah sementara di Aceh untuk menambah perbekalannya dan untuk mendapatkan pelajaran awal tentang agama Islam dan bahasa Arab.
Sehingga saat ia nantinya tiba di Mekkah, maka ia sudah menguasai dasar-dasar pengetahuan keislaman dan memiliki kemampuan bahasa Arab sebagai media komunikasi dalam menuntut ilmu.
Namun, demikian tidak jarang orang merasa apa yang dipelajari di Aceh sudah cukup bagianya dan tidak perlu pergi ke Arab. Mereka menghabiskan beberapa tahun di Aceh, belajar agama, menulis buku, lalu kembali ke daerahnya untuk mengajarkan agama Islam yang sudah dikuasainya.
Sejauh catatan para sarjana hingga saat ini ada beberapa orang ulama yang belajar pada Abd al-Ra'uf dan kemudian menjadi ulama di daerah mereka.
Antara lain Syaikh Burhanuddin Ulakan yang mengembangkan tarekat Syattariyah di Sumatera Barat, terutama di daerah Pariaman saat ini. Berkat jasa Ulakan, tarekat Syattariyah menjadi salah satu tarekat yang sangat berpengaruh di Sumatera Barat.
Sementara di pulau Jawa tarekat ini dikembangkan oleh muridnya bernama Abdul Muhyi dari Paminjahan. Ia belajar dan menetap di Aceh selama beberapa tahun sebelum melanjutkan perjalanannya ke Makkah, ia juga masih singgah di Aceh setelah pulang dari Makkah.
Baru dari sana ia pulang ke Jawa dan mengembangkan tarekat ini di kampung halamannya. Sementara di daerah semenanjung Melayu tarekat ini dikembangkan oleh muridnya Abdul Malik bin Abdullah.
Berkat jasanya pula tarekat ini berkembang di banyak kawasan di Malaysia sekarang hingga daerah Patani, Thailand. Meski begitu, Syattariyah sendiri tidak berkembang dengan
baik di Aceh.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR