Nationalgeographic.co.id—Pada abad ke-2 SM, perubahan sosio-ekonomi yang cepat sedang terjadi di kalangan petani di Republik Romawi.
Menurut narasi sejarah tradisional, para petani dari kalangan rakyat jelata memiliki perkebunan kecil yang dikelola keluarga. Namun, mereka juga dibebani dengan tugas militer selama periode Perang Punisia Kedua dan seterusnya.
Karena tidak lagi mampu menjalankan pertanian secara efektif, mereka digantikan oleh pemilik tanah kaya. Tuan tanah itu menciptakan perkebunan pertanian besar yang dikerjakan oleh para budak. Hal ini menyebabkan eksodus petani tak bertanah yang menjadi kaum proletar miskin di perkotaan Roma.
Petani, tulang punggung Republik Romawi
Petani dari kalangan rakyat jelata (plebs) adalah tulang punggung Republik Romawi. Pada akhir abad ke-6 SM, Republik Romawi menjadi sebuah negara yang sebagian besar dihuni oleh petani kecil dari kalangan rakyat jelata.
Para petani kecil ini merupakan jantung dari hasil pertanian Roma. Namun, mereka juga bertugas di militer dan berpartisipasi secara politik sebagai warga negara.
Bangsa Romawi menanam berbagai jenis biji-bijian. “Termasuk gandum dan barley serta kacang-kacangan seperti lentil, buncis, kacang polong, dan buncis,” tulis Alexander Gale di laman The Collector.
Seperti di negara tetangga Yunani, orang Romawi juga menanam zaitun. Minyak zaitun merupakan bagian penting dari makanan orang Romawi. Dari tetangganya, orang Yunani dan Kartago, orang Romawi juga belajar banyak tentang menanam anggur dan mulai membuat anggur sendiri.
Hewan juga ada di peternakan Romawi. Sapi menghasilkan susu, sedangkan kambing dan domba menghasilkan keju. Tentu saja bisa dimakan juga. Sapi dan bagal menyediakan otot ekstra untuk tugas-tugas padat karya.
Menulis pada abad ke-2 SM, Cato the Elder (234–149 SM) menasihati mereka yang ingin menjalankan pertanian.
Katanya, “Iklimnya harus bagus, tidak terkena badai; tanahnya harus bagus, dan kuat secara alami. Jika memungkinkan, lokasinya harus terletak di kaki gunung dan menghadap ke selatan. Situasinya harus sehat, harus ada banyak pekerja, harus ada air yang cukup. Di dekatnya harus ada kota yang berkembang, laut, atau sungai yang bisa dilayari, atau jalan yang bagus dan banyak dilalui.”
Baca Juga: Bagaimana Nasib Kota Abadi Roma setelah Kejatuhan Kekaisaran Romawi?
Pertanian dan kebajikan Romawi
Peran petani sama pentingnya bagi bangsa Romawi dalam arti ideologis. Romanitas merupakan kebajikan yang dianggap berasal dari orang Romawi. Kebijakan ini terdiri dari tiga identitas yaitu warga negara, prajurit, dan petani.
Orang Romawi ideal yang mewujudkan tiga identitas ini adalah Lucius Quinctius Cincinnatus. Ia adalah seorang negarawan legendaris yang hidup antara tahun 519 dan 430 SM.
Ketika Romawi terancam kehancuran, Cincinnatus dengan enggan meninggalkan pertaniannya dan menerima posisi diktator. Setelah mengalahkan musuh, ia segera melepaskan kekuasaan dan kembali ke kehidupan sederhana sebagai petani.
Cincinnatus memberikan contoh kebajikan yang paling dikagumi orang Romawi pada diri warga negara, tentara, dan petani. Para penulis, sejarawan, dan filsuf Romawi sangat antusias memuji petani yang rendah hati ini.
Penaklukan, perbudakan, dan perang
Pada akhir abad ke-3 dan sepanjang abad ke-2 SM, peningkatan jumlah tekanan sosio-ekonomi dan politik mulai membebani petani. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh tanggung jawab militer yang harus ditanggung oleh para petani. Juga karena meningkatnya jumlah budak yang berhasil melakukan penaklukan.
Kondisi semakin parah dengan orang kaya yang membeli tanah tersebut dan mendirikan latifundia (perkebunan pertanian besar). Latifundia menggantikan perkebunan kecil yang dikelola keluarga yang sebelumnya merupakan mayoritas pertanian Romawi.
Ketergantungan Romawi pada petani untuk dinas militer tidak menjadi masalah jika pertempurannya singkat dan tidak jauh dari lokasi pertanian.
Namun, selama Perang Punisia Kedua (218 hingga 201 SM), pertempuran memakan waktu lebih lama. Para petani wajib militer dijauhkan dari tanah mereka untuk jangka waktu yang lebih lama.
Menurut sejarawan seperti Tim Cornell, hal ini mempersulit petani kecil untuk menjalankan pertanian. Alhasil, mereka pun menjual lahan-lahannya.
Baca Juga: Bagaimana Gosip Menorehkan Sejarah Permaisuri Romawi Messalina?
Budak menggantikan posisi petani dari kalangan rakyat jelata
Appian (95 – 165 M), sejarawan Yunani, menggambarkan situasi abad ke-2 SM dengan suram. Orang-orang kaya datang untuk mengolah lahan yang luas, bukan hanya satu perkebunan. “Mereka menggunakan budak sebagai buruh dan penggembala,” tulis Appian.
Dengan demikian, orang-orang berkuasa tertentu menjadi sangat kaya dan ras budak berlipat ganda di seluruh negeri. Sementara jumlah dan kekuatan rakyat Italia menyusut, mereka tertindas oleh kesulitan, pajak, dan dinas militer.
Jika mendapatkan kelonggaran, petani menghabiskan waktunya dengan bermalas-malasan. Pasalnya tanah tersebut dikuasai oleh orang-orang kaya, yang mempekerjakan budak-budak dan bukannya orang-orang merdeka sebagai penggarap.
Latifundia dan kemunduran moral
Para sejarawan kuno menganggap latifundia dan penggunaan budak sebagai kemerosotan moral yang terjadi bersamaan yang merendahkan Republik Romawi. Mengapa? Konon orang Romawi menganggap petani yang rendah hati lebih unggul secara moral.
Pliny the Elder (23/24 – 79 M), seorang filsuf dan penulis Romawi, juga mengkritik latifundia yang mendominasi. “Di bawah tangan orang-orang jujur segalanya menjadi lebih baik,” tulisnya, “Tetapi saat ini tanah-tanah tersebut digarap oleh para budak yang kakinya dirantai. Oleh tangan para penjahat dan orang-orang yang wajahnya dicap!”
Kita mungkin tidak pernah mengetahui secara pasti kombinasi faktor yang menyebabkan perubahan sosial-ekonomi yang meluas di Republik Romawi. Namun apa yang terjadi di Republik Romawi bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang hidup di zaman modern.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR