Nationalgeographic.co.id—Penambangan pasir laut secara historis dimulai pada akhir 1970-an. Semula, pasir laut di Kepulauan Riau digunakan untuk mencegah pendangkalan laut, tetapi kemudian menjadi komoditas ekonomi bagi Pemerintah Singapura.
Namun tidak hanya untuk keperluan luar negeri, dalam kasus di dalam negeri pun tidak jauh berbeda. Pasir menjadi komoditas tambang untuk pembangunan infrastruktur yang dilakukan pada Februari-Agustus 2020 dengan menggunakan pasir laut sebagai bahan baku adalah reklamasi Makassar New Port (MNP) tahap II yang dimiliki oleh PT. Pelindo IV.
Penambangan pasir laut skala besar terjadi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan kegiatan penambangan pasir laut terjadi di Kepulauan Spermonde yang merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan.
Kepulauan Spermonde adalah sekelompok pulau di Spermonde yang terletak di perairan yang mencakup bagian selatan Kabupaten Takalar, Kota Makassar, Kabupaten Pangkep, hingga Kabupaten Barru.
Perairan Spermonde memiliki tingkat keanekaragaman terumbu karang yang cukup tinggi yang terdiri dari 78 genera dan subgenera dan termasuk dalam segitiga terumbu karang dunia dengan total 263 spesies, sekitar 80-87% di antaranya ditemukan di daerah terumbu karang terluar. Perairan ini merupakan sumber ekonomi utama bagi masyarakat pesisir dan pemasok ikan berkualitas tinggi terbesar di wilayah Makassar.
Andi Kurniawati, Rizkal Nur, dan Dyno Thiodores dalam The Effect of Sea Sand Mining on Fishermen's Rights yang dimuat dalam jurnal Mulawarman Law Review mengungkap bahwa penambangan pasir laut ini memiliki dampak ekonomi dan sosial terhadap masyarakat yang bekerja sebagai nelayan yang sering mencari ikan di sekitar area penambangan.
"Sebelum adanya kegiatan penambangan pasir laut, kehidupan nelayan normal dan sejahtera. Rata-rata pendapatan nelayan berkisar antara Rp. 200.000 hingga Rp. 2.000.000. Namun, sejak adanya kegiatan penambangan pasir laut, para nelayan mengalami penderitaan dan kerugian," tulis Andi dkk.
Penambangan pasir laut di perairan Spermonde bukan pertama kali terjadi. Penambangan pasir laut telah terjadi di Takalar. PT Yasmin dan PT Ciputra bekerja sama dengan PT Boskalis melakukan pengerukan di perairan Galesong.
Meskipun dihentikan pada tahun 2018 karena proyek reklamasi CPI (Centra Point of Indonesia) sementara dihentikan oleh pengembang, dampak dari penambangan pasir mulai dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Dari penelitian WALHI Sulawesi Selatan, penambangan pasir telah mengakibatkan 250 nelayan beralih profesi menjadi pekerja informal seperti tukang batu dan pemulung. Selain itu, pendapatan 6.474 orang yang bekerja menurun sebesar 80%. Dampak lainnya adalah abrasi pantai. Di hampir semua desa terjadi abrasi sepanjang 10 hingga 20 meter, akibatnya rumah-rumah rusak parah dan 2 pemakaman umum rusak berat.
Meningkatnya kasus penambangan pasir di Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah Sulawesi Selatan yang mengeluarkan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perda RZWP3K Sulawesi Selatan).
Baca Juga: Penambangan Pasir Sebabkan Kerusakan Permanen di Pulau Morotai
Peraturan tersebut memberikan legitimasi kepada perusahaan untuk melakukan perusakan lingkungan berupa penambangan pasir laut dan reklamasi di wilayah pesisir Provinsi Sulawesi Selatan. Kebijakan ini bertentangan dengan masyarakat. Perda RZWP3K Sulses ini bertentangan dengan Pasal 28 H Ayat (1) UUD Republik Indonesia.
Konstitusi menjamin setiap warga negara untuk memiliki lingkungan hidup yang baik dan sehat, namun sebaliknya, pemerintah daerah menghasilkan produk hukum yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan.
Proyek penambangan pasir laut di daerah penangkapan ikan merupakan kegiatan pendukung untuk pengembangan proyek strategis nasional, yaitu Makassar New Port (MNP).
Sumber material untuk reklamasi Makassar New Port (MNP) berada di Blok Spermonde yang telah diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sulawesi Selatan.
Pembangunan proyek ini membutuhkan material pasir dari Blok Spermonde. Kapal Ratu Belanda yang dimiliki oleh PT Royal Boskalis telah melakukan pengerukan pasir laut di Blok Spermonde pada Februari 2020.
"Pengerukan pasir laut ini tepat berada di daerah penangkapan ikan nelayan Pulau Kodingareng, yaitu Copong Lompo, Copong Ca'di, Bonema'lonjo, dan Pungangrong," jelas Andi dkk.
"Keberadaan kegiatan penambangan pasir laut telah mengubah kehidupan nelayan, terutama di Pulau Kodingareng, sebagian besar penduduknya adalah nelayan yang setiap hari mencari ikan di sekitar area penambangan," pungkasnya.
Tidak Menghiraukan Kesejahteraan Rakyat
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang dicirikan oleh kepulauan, memiliki kepemilikan penuh atas wilayahnya serta hak berdaulat atau hak eksklusif di luar wilayah kepemilikannya (Zona Ekonomi Eksklusif) dan wewenang untuk mengelola serta memanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia bahwa tujuan pendirian Republik Indonesia adalah Kesejahteraan Umum, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Republik Indonesia: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat."
Mengingat bahwa wilayah Indonesia terdiri dari 77% lautan, tentu saja, laut sangat penting bagi Indonesia. Keberlanjutan laut adalah sesuatu yang harus diperjuangkan oleh Indonesia.
Baca Juga: Tambang Pasir Laut Buat Nelayan Habiskan Waktu 15 Kali Lebih Lama untuk Tangkap Ikan
Wilayah laut Indonesia mengandung potensi ekonomi maritim yang sangat besar dan beragam. Ada setidaknya tiga belas sektor di laut yang dapat dikembangkan dan dapat berkontribusi pada perekonomian dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Sektor tersebut meliputi: a. Perikanan tangkap, b. Akuakultur, c. Industri pengolahan budidaya, d. Industri bioteknologi laut, e. Pertambangan dan energi, f. Pariwisata maritim, g. Transportasi laut, h. Industri dan jasa maritim, i. Pulau-pulau kecil, j. Sumber daya non-konvensional, k. Pembangunan kelautan, l. Benda-benda berharga dan warisan budaya, m. Jasa lingkungan dan Keanekaragaman Hayati.
Sektor perikanan sebagai salah satu sumber daya alam memiliki peran penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan, dan meningkatkan standar hidup bangsa pada umumnya serta meningkatkan pendapatan nelayan pada khususnya.
Namun, sangat disayangkan, kurang dari 14,58 juta orang atau sekitar 90% dari 16,2 juta nelayan di Indonesia tidak diberdayakan secara ekonomi atau politik dan berada di bawah garis kemiskinan.
Nelayan di Indonesia tidak diberdayakan secara ekonomi maupun politik dan berada di bawah garis kemiskinan. Paul Durrenberger meyebut bahwa "nelayan menangkap ikan untuk hidup. Mereka tidak mencari nafkah dengan menghadiri rapat."
Kesejahteraan nelayan di Kodingareng mulai terkikis sejak penambangan pasir dimulai. Pulau Kodingareng secara administratif terletak di Kecamatan Sangkarang, dihuni oleh 1.059 rumah tangga, 2.282 pria, 2.251 wanita dengan total populasi 4.533 orang.
Sekitar 1.179 orang bekerja sebagai nelayan yang setiap hari mencari ikan di sekitar perairan Spermonde, yang menjadi titik kegiatan penambangan pasir. Memasuki bulan April hingga Oktober, semua nelayan dari Kodingareng berkumpul di area Copong Lompo.
Karena antara bulan April dan Oktober adalah musim timur di mana musim ini adalah musim panen bagi para nelayan di Kodingareng. Namun, pada musim timur tahun 2020, hasil tangkapan nelayan menurun drastis.
Data yang dihasilkan dari penelitian tersebut dengan jelas menunjukkan bagaimana perubahan dan penurunan jumlah tangkapan dan ekonomi nelayan Kodingareng sejak adanya kegiatan penambangan pasir laut di daerah tangkapan mereka.
Perubahan ini juga mempengaruhi sirkulasi ekonomi di daerah tersebut. Hal ini karena produk laut merupakan sumber utama penggerak ekonomi di pulau tersebut.
Selain itu, perubahan ekonomi juga dirasakan oleh masyarakat Kodingareng karena banyak dari mereka yang telah menggadaikan emas atau perhiasan, utang mereka meningkat, dan beberapa di antaranya bahkan telah menjual perahu mereka untuk mencari nafkah.
Baca Juga: Blue Carbon: Sedimen Dasar Laut, 'Bintang Utama' Penyerapan Karbon yang Pantang Diusik
Kesimpulan
Penambangan pasir laut yang terjadi di sekitar daerah tangkapan ikan berdampak pada hak-hak nelayan yang menangkap ikan di sekitar Perairan Spermonde, yang merupakan lokasi penambangan pasir laut.
Penambangan ini menyebabkan degradasi ekosistem laut dan juga degradasi ekonomi nelayan. Degradasi ekosistem laut disebabkan oleh pengerukan kapal tambang yang menyebabkan air laut menjadi keruh.
Kekeruhan air laut ini membuat nelayan sulit mendapatkan ikan, sehingga terjadi penurunan jumlah tangkapan ikan sebelum dan sesudah penambangan pasir.
Inilah yang menyebabkan degradasi ekonomi nelayan. Keberadaan penambangan pasir berdampak pada kesejahteraan nelayan yang telah dijamin oleh hukum.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR