Berjalan masuk menuju area dalam Sheraton, kami menjumpai danau –danau yang menyimpan kaolin, sehingga menciptakan warna biru nan segar dipandang. Kandungan kaolin ini diambil dari sebuah waduk yang letaknya masih berada disekitar Tanjung Kelayang Reserve.
Masyarakat pesisir diimbau tidak menggunakan air tanah untuk menghindari penurunan tanah seperti yang terjadi di Jakarta Utara, sehingga kebutuhan air di Sheraton dipasok dari Water Treatment Plan.
Perjalanan selanjutnya, kami menuju wilayah hutan kerangas untuk melihat ghost orchid yang menurut kacamata masyarakat awam sangat menyebalkan. Betapa tidak? Anggrek itu jauh dari tanaman yang dibayangkan karena hanya berbentuk seperti lidi berwarna hitam tanpa daun namun memiliki biji dan bunga.
Ia tumbuh pendek dan bebas di atas tanah. Jika daun-daunnya gugur, anggrek itu akan sulit terlihat. Perlu ketelitian tingkat dewa untuk menemukannya. Situasi ini mengingatkan kita pada pepatah “tak kenal maka tak sayang”.
Namun, setelah mengenal anggrek hantu, seketika mata kita seperti terbiasa melihat persebaran mereka di area yang sangat kecil di kawasan ini. Tak lebi dari 30 meter persegi!
Seperti halnya anggrek hantu, terdapat ikatan Myco-heterotrophy antara jenis anggrek Leicanorchis multiflora dengan jamur yang diprediksi berasal dari jenis Lentinus. Ia bertahan hidup di area yang saat ini hanya jumpai di hutan primer Tanjung Kelayang Reserve.
Buggy car membawa kami menuju area ternak lebah madu “Honey farm”. Saya skeptis ketika mendengar kata lebah, membayangkan sengatan mematikan. Setelah melewati jembatan, kami menjumpai banyak pohon menjulang. Di sanalah terdapat 10 kotak lebah.
Lebah-lebah itu tidak menyengat karena tanpa sengat atau “stingless bee” berjenis Heterotrigona itama. Kantong madunya pun unik. Jika biasanya berbentuk heksagon, madu dari jenis lebah ini berbentuk kantong–kantong kecil sehingga kita bisa langsung meminumnya langsung.
Kami belajar banyak dari perjalanan ini. Bukan hanya soal kekayaan Pulau Belitong, tetapi juga bagaimana manusia dengan anugrah kepintaran dan kebijaksanaannya sungguh mampu berdaya hidup selaras dengan alam.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR