Nationalgeographic.co.id—“Sangat penting untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan dan memanfaatkan hope spot ini, sehingga tidak ada pihak yang merasa diabaikan,” ungkap Rili Djohani, seorang ahli ekologi kelautan dan salah satu pendiri Coral Triangle Center.
Ia telah bekerja selama lebih dari 30 tahun untuk melindungi ekosistem laut dan wilayah pesisir di Indonesia dan Asia Tenggara. Menurutnya, keberhasilan upaya konservasi di Nusa Penida bergantung pada kemampuan penduduk pesisir untuk hidup secara berkelanjutan dan menjadi pelindung laut itu sendiri.
Atas alasan itu, Coral Triangle Center (CTC) mendukung pengembangan mata pencaharian yang ramah lingkungan dan ketahanan pangan bagi masyarakat setempat, serta menjalankan kegiatan penyuluhan dan pelatihan konservasi.
Kawasan Konservasi Perairan (Marine Protected Area atau MPA) Nusa Penida mencakup 20.057 hektare di sekitar tiga pulau ikonik Bali: Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan. Setiap tahunnya, ratusan ribu wisatawan datang untuk menikmati keindahan laut, snorkeling, dan menyelam bersama ikan manta, sunfish, serta penyu.
Melalui Coral Triangle Center (CTC), Djohani bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan masyarakat setempat untuk membagi MPA menjadi beberapa zona khusus. Pembagian zona itu mencakup pariwisata, budidaya rumput laut, perikanan, serta kawasan sakral yang menjaga keseimbangan antara kelestarian lingkungan dan nilai-nilai budaya setempat.
MPA Nusa Penida terletak di jantung Segitiga Karang. Bentang Segitiga Karang ini merupakan kawasan pusat biodiversitas laut dunia yang mencakup perairan yang juga meliputi Filipina, Timor-Leste, Kepulauan Solomon, dan Indonesia. Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida menjadi rumah bagi sekitar 570 spesies ikan karang, termasuk ikan manta dan sunfish yang magis, serta hampir 300 spesies terumbu karang—mewakili lebih dari 76 persen spesies karang yang diketahui.
Pun, sekitar 48.000 penduduk bergantung pada ekosistem laut sebagai mata pencaharian di sana. Panorama Nusa Penida pun menarik ribuan wisatawan setiap tahun, menghadirkan tantangan dan peluang baru bagi pulau ini.
"Masyarakat setempat merupakan pihak yang paling terkena dampak dari hilangnya ekosistem ini dan juga pihak yang paling merasakan manfaat dari pengelolaan kawasan konservasi laut yang efektif," ungkap Wira Sanjaya, Project Manager Coral Triangle Center.
Pada 2020, pengelolaan area oleh CTC mencapai kesuksesan besar, sehingga diakui oleh Rolex Perpetual Planet Initiative dan Mission Blue. MPA ini dinobatkan sebagai Hope Spot, sebuah wilayah dengan biodiversitas laut yang krusial, dengan Rili Djohani dan Wira Sanjaya sebagai Hope Spot Champion.
Saat ini, keduanya terus berupaya menjadikan MPA ini sukses. Salah satu proyek utama mereka adalah rehabilitasi hutan mangrove yang sebelumnya ditebang untuk diambil kayunya. Kesadaran warga tentang manfaat mangrove kian meningkat, seperti peran pentingnya bagi biodiversitas, perlindungan terhadap kenaikan permukaan laut, dan potensi ekowisata.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR