Sebuah studi ilmiah yang diterbitkan dalam Journal of Environmental Management semakin memperkuat kekhawatiran tersebut.
Studi ini tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa sertifikasi RSPO secara efektif mencegah deforestasi atau kerusakan lingkungan skala besar. Temuan ini tentu saja bertentangan dengan klaim industri bahwa sertifikasi merupakan jaminan keberlanjutan.
Menanggapi temuan tersebut, Grepalma, sebuah asosiasi produsen kelapa sawit di Guatemala yang juga merupakan anggota RSPO, membela industri mereka. Grepalma mengklaim bahwa Guatemala merupakan produsen kelapa sawit paling produktif di dunia dan bahwa sebagian besar ekspansi perkebunan terjadi di lahan yang sebelumnya tidak berhutan.
Greenbury mengamini bahwa ekspansi kelapa sawit di Amerika Latin memang lebih sedikit menyebabkan deforestasi dibandingkan di Indonesia. Namun, beliau mengingatkan bahwa kelapa sawit tetap dapat menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, misalnya dengan menggusur pertanian lain ke dalam hutan.
Laporan Chain Reaction Research tahun 2021 mendukung pandangan ini. Laporan tersebut menyimpulkan adanya hubungan langsung antara kelapa sawit dan deforestasi di Amerika Latin tidak sekuat di Asia Tenggara.
"Namun, masih mengancam ekosistem hutan yang berharga. Kelapa sawit juga dapat menggantikan penggunaan lahan lainnya di beberapa negara, mendorong produksi ternak dan tanaman lebih jauh ke dalam kawasan hutan," papar Hicks.
Skeptis
Grant Rosoman, seorang tokoh sentral dalam gerakan lingkungan global, menyuarakan skeptisisme yang mendalam terhadap klaim keberlanjutan yang kerap dilontarkan oleh perusahaan-perusahaan agribisnis, khususnya dalam konteks industri kelapa sawit.
Sebagai penasihat senior untuk solusi hutan di Greenpeace International, Rosoman telah menyaksikan secara langsung bagaimana janji-janji perusahaan untuk menghilangkan deforestasi dari rantai pasokannya seringkali hanya menjadi retorika belaka.
Rosoman mengingatkan kita akan kampanye viral Greenpeace terhadap merek KitKat Nestle pada tahun 2010 yang mengungkap keterlibatan perusahaan dalam deforestasi.
Kejadian ini menjadi bukti nyata bahwa perusahaan-perusahaan besar seringkali mengutamakan keuntungan semata tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial yang luas.
Terkait dengan tren terbaru dalam industri kelapa sawit, yaitu adopsi praktik pertanian regeneratif, Rosoman tetap bersikap hati-hati.
Ia mempertanyakan apakah praktik-praktik seperti penggunaan pupuk organik, pengendalian hama alami, dan agroforestri benar-benar dapat membawa perubahan signifikan atau hanya sekadar upaya untuk memoles citra perusahaan.
Keraguan Rosoman ini didukung oleh temuan penelitian yang dilakukan oleh Dr Jean-Pierre Caliman dari SMART Research Institute. Caliman mengingatkan kita bahwa meskipun agroforestri menawarkan banyak manfaat, termasuk ketahanan pangan bagi petani, praktik ini juga memiliki tantangan tersendiri.
Pada kondisi iklim ekstrem seperti kekeringan, tanaman lain yang ditanam dalam sistem agroforestri dapat bersaing dengan pohon kelapa sawit dalam memperebutkan air, sehingga berpotensi menurunkan produktivitas.
Situasi di Indonesia semakin kompleks dengan meningkatnya kembali laju deforestasi terkait kelapa sawit pada tahun 2023. Setelah mengalami penurunan selama satu dekade, deforestasi akibat perluasan perkebunan kelapa sawit monokultur industri kembali meningkat secara signifikan.
Di tengah kondisi ini, terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden Indonesia membawa tantangan baru. Prabowo memang telah menyatakan komitmennya untuk mencapai target netral karbon pada tahun 2060.
Hanya saja, menurut Hicks, "Hal ini akan melibatkan peningkatan sektor biofuel, menggunakan kelapa sawit sebagai bahan bakar - memberikan tekanan lebih besar dari sebelumnya pada hutan-hutan penting iklim negara tersebut."
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR