Nationalgeographic.grid.id—Dalam sebuah langkah berani menuju perlindungan lingkungan global, negara-negara kepulauan Pasifik seperti Vanuatu, Fiji, dan Samoa telah mengajukan permohonan resmi kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengakui ekosida sebagai kejahatan internasional.
Ekosida, yang secara sederhana berarti tindakan menghancurkan ekosistem secara besar-besaran, akan sejajar dengan kejahatan berat lainnya seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan jika usulan ini diterima.
Konsekuensi dari pengakuan ini sangat signifikan. Pemimpin perusahaan multinasional atau bahkan negara-negara yang secara sengaja merusak lingkungan dapat dituntut secara hukum di tingkat internasional.
Hal ini membuka peluang untuk meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang meluas, baik itu akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, pencemaran lingkungan, atau perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.
Meskipun inisiatif ini mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan, terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Negara-negara pencemar terbesar dunia, seperti Cina, Rusia, India, dan Amerika Serikat, belum menjadi anggota ICC.
Hal ini memungkinkan mereka untuk tidak tunduk pada yurisdiksi pengadilan internasional dan dapat menolak keputusan pengadilan atas dasar yurisdiksi yang tidak berlaku bagi mereka.
Namun, para pendukung upaya ini tetap optimis. Jojo Mehta, salah satu pendiri kelompok advokasi Stop Ecocide International, menegaskan bahwa tujuan utama dari pengakuan ekosida sebagai kejahatan internasional adalah pencegahan.
"Hukum pidana menciptakan batasan moral dan hukum yang kuat," kata Mehta seperti dilansir dari laman The Washington Post. "Dengan demikian, tindakan merusak lingkungan secara ekstrem tidak hanya dianggap melanggar hukum, tetapi juga merupakan tindakan yang tidak dapat diterima secara moral."
Berikut adalah apa yang perlu diketahui tentang dorongan untuk menindak kerusakan lingkungan.
Apa itu ekosida?
Istilah "ekosida" pertama kali diperkenalkan oleh Arthur Galston, seorang ahli biologi terkemuka dari Amerika Serikat pada dekade 1970-an. Sebagai seorang profesor di Universitas Yale, Galston menyaksikan secara langsung dampak buruk dari penggunaan herbisida Agent Orange di Vietnam.
Baca Juga: Ekspor Pasir Punya Dampak Buruk di Lingkungan Tempat Asalnya
Senjata kimia ini, yang dikembangkan berdasarkan penelitian awal Galston tentang pertumbuhan tanaman, digunakan secara masif untuk menghancurkan hutan dan vegetasi sebagai bagian dari taktik perang.
"Saya pikir itu adalah penyalahgunaan ilmu pengetahuan," ungkap Galston terkait herbisida yang sangat beracun tersebut.
Agent Orange, yang kemudian dikaitkan dengan berbagai penyakit serius seperti kanker dan cacat lahir, menjadi contoh nyata dari apa yang kemudian dikenal sebagai ekosida: tindakan yang secara sengaja atau ceroboh menghancurkan ekosistem dalam skala besar.
Sejak peristiwa tragis di Vietnam, kesadaran global akan bahaya ekosida terus meningkat. Para ahli hukum lingkungan internasional telah berupaya keras untuk menjadikan ekosida sebagai kejahatan internasional yang dapat dihukum.
Usulan terbaru yang diajukan kepada ICC pada September lalu memberikan definisi yang lebih jelas tentang ekosida.
Menurut proposal tersebut, ekosida didefinisikan sebagai "tindakan melanggar hukum atau sembrono yang dilakukan dengan pengetahuan bahwa ada kemungkinan besar kerusakan lingkungan yang parah dan luas atau jangka panjang yang disebabkan oleh tindakan tersebut."
Definisi ini menggarisbawahi unsur kesengajaan atau kelalaian dalam tindakan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan skala besar, serta menekankan konsekuensi jangka panjang yang dapat ditimbulkan oleh tindakan tersebut.
Konsep ekosida, yang merujuk pada tindakan yang secara sengaja atau ceroboh menghancurkan ekosistem dalam skala besar, telah semakin relevan dalam konteks krisis lingkungan global saat ini.
Peristiwa seperti tumpahan minyak besar-besaran, deforestasi Amazon yang meluas, dan emisi gas rumah kaca berlebihan oleh perusahaan bahan bakar fosil merupakan contoh nyata dari tindakan yang dapat dikategorikan sebagai ekosida.
Para ahli lingkungan dan hukum internasional sepakat bahwa tindakan-tindakan tersebut memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan irreversibel.
Donald R. Rothwell, seorang pakar hukum internasional terkemuka dari Australian National University, menekankan pentingnya pengakuan ekosida sebagai kejahatan internasional.
Baca Juga: Urgensi Penerapan Konsep Bisnis Berkelanjutan pada Perusahaan di Indonesia
Dalam pandangannya, "pengakuan ekoside sebagai kejahatan internasional akan menjadi kemajuan besar dalam akuntabilitas internasional untuk kerusakan lingkungan yang parah."
Namun, Rothwell juga mengakui bahwa proses untuk mencapai konsensus global mengenai definisi dan kriminalisasi ekosida akan menjadi perjalanan yang panjang dan kompleks, melibatkan negosiasi diplomatik yang rumit di antara berbagai negara dengan kepentingan yang berbeda-beda.
Di mana saja ekosida ilegal?
Perkembangan signifikan terjadi dalam upaya global untuk melindungi lingkungan dengan pengakuan resmi terhadap kejahatan ekosida. Belgia menjadi negara pertama di Uni Eropa yang secara tegas mengkriminalisasi ekosida awal tahun ini.
Dalam kode kriminalnya, ekosida didefinisikan sebagai tindakan sengaja yang melanggar hukum dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat parah, luas, dan berdampak jangka panjang.
Pelaku tindakan ini dapat dijerat hukuman hingga 20 tahun penjara dan denda mencapai jutaan dolar.
Langkah Belgia ini menginspirasi negara-negara lain di kawasan Eropa. Uni Eropa sendiri telah mengambil langkah penting dengan mengkriminalisasi kerusakan lingkungan yang setara dengan ekosida.
Beberapa negara anggota, seperti Prancis, Belanda, dan Spanyol, telah atau sedang dalam proses mengadopsi undang-undang yang serupa.
Bahkan, di luar Eropa, negara-negara seperti Skotlandia, Brasil, dan Meksiko juga tengah mempertimbangkan untuk memasukkan ketentuan mengenai ekosida ke dalam sistem hukum mereka.
Konsep ekosida juga memiliki implikasi geopolitik yang signifikan. Sebagai contoh, Rusia telah memasukkan ekosida ke dalam kode pidananya.
Namun, negara ini juga dituduh melakukan tindakan ekosida selama perang di Ukraina, yang menunjukkan bahwa undang-undang semacam ini dapat digunakan sebagai alat politik dan menimbulkan perdebatan yang kompleks.
Meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam pengakuan ekosida sebagai kejahatan, terdapat sejumlah tantangan yang mengiringi upaya ini. Salah satu tantangan yang disorot oleh para ahli hukum internasional adalah adanya tumpang tindih antara konsep ekosida dengan kejahatan perang internasional yang sudah ada sebelumnya.
Seperti yang ditegaskan oleh Rothwell, terdapat norma-norma hukum internasional yang mengatur kerusakan lingkungan yang terjadi dalam konteks konflik bersenjata.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana membedakan antara tindakan yang merupakan kejahatan perang dan tindakan yang merupakan ekosida.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Conversation, Filippos Proedrou, seorang ahli ekonomi politik global di University of South Wales, dan Maria Pournara, seorang ahli kriminologi di Swansea University, memperdalam analisis mengenai definisi ekosida yang telah diadopsi oleh Uni Eropa dan negara-negara lainnya.
Mereka berargumen bahwa definisi yang menggunakan kata "sembrono" untuk menggambarkan tindakan yang merusak lingkungan dapat menjadi penghalang dalam proses penuntutan.
Penggunaan kata "sembrono" ini menyiratkan bahwa pelaku harus menunjukkan tingkat kelalaian yang tinggi agar tindakannya dapat dikategorikan sebagai ekosida.
Proedrou dan Pournara berpendapat bahwa standar "sembrono" ini terlalu tinggi dan dapat dimanfaatkan oleh pelaku untuk menghindari tanggung jawab hukum.
Mereka berargumen bahwa pelaku dapat berdalih bahwa tindakan mereka, meskipun merusak lingkungan, memiliki manfaat ekonomi yang signifikan sehingga tindakan tersebut tidak dapat dianggap sembrono.
Dengan kata lain, pelaku dapat mengklaim bahwa mereka telah melakukan pertimbangan yang rasional sebelum mengambil tindakan, meskipun dampak lingkungannya sangat buruk.
Kisah negara-negara Pasifik melawan ekosida
Negara-negara kepulauan Pasifik, yang secara geografis rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dan intensitas badai yang semakin meningkat, telah berada di garis depan perjuangan global untuk melindungi lingkungan.
Vanuatu, salah satu negara kepulauan ini, telah mengambil inisiatif yang berani dengan mengajukan proposal untuk memasukkan kejahatan ekosida ke dalam ICC pada tahun 2019.
Melalui proposal ini, Vanuatu berusaha untuk memberikan pengakuan hukum internasional terhadap kerusakan lingkungan yang parah dan meluas.
Ralph Regenvanu, utusan khusus Vanuatu untuk perubahan iklim dan lingkungan, dengan tegas menyatakan bahwa dampak perubahan iklim telah menimbulkan ancaman eksistensial bagi negara-negara kepulauan Pasifik.
Kenaikan permukaan laut dan bencana alam yang semakin sering terjadi tidak hanya merusak ekonomi pulau-pulau kecil, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup masyarakat dan budaya mereka.
“Kerusakan lingkungan dan iklim di Vanuatu menghancurkan ekonomi pulau kami, menenggelamkan wilayah kami, dan mengancam mata pencaharian,” tegas Regenvanu.
Pernyataan ini menyoroti keseriusan masalah yang dihadapi oleh negara-negara kepulauan Pasifik akibat perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.
Dengan memasukkan ekosida sebagai kejahatan internasional, Vanuatu berharap dapat menciptakan mekanisme pertanggungjawaban bagi negara-negara dan korporasi yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dalam skala besar.
“Pengakuan hukum terhadap kerusakan lingkungan yang parah dan luas memiliki potensi signifikan untuk memastikan keadilan dan, yang penting, untuk mencegah kerusakan lebih lanjut,” pungkas Regenvanu.
KOMENTAR