Nationalgeographic.grid.id—Budaya Panji, yang berkembang pesat pada masa kejayaan Kerajaan Kadiri (1042-1222), ternyata memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam dan lingkungan.
Cerita-cerita Panji, yang menjadi bagian penting dari khazanah budaya Nusantara, tidak hanya sekadar kisah cinta dan petualangan. Lebih dari itu, cerita-cerita ini sarat dengan pesan-pesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Pertumbuhan seni dan budaya Panji tidak dapat dilepaskan dari lingkungan alam tempat ia dilahirkan. Alam menjadi inspirasi bagi para seniman dan budayawan untuk menciptakan karya-karya yang indah dan mendalam.
Kearifan lokal yang terkandung dalam cerita Panji menunjukkan kesadaran yang tinggi akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Nilai-nilai ekologis seperti pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, menghormati alam sebagai sumber kehidupan, dan hidup selaras dengan alam tercermin dengan jelas dalam berbagai cerita Panji.
Maka dari itu, tidak salah jika anggota Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta Saras Dewi menyatakan bahwa seni Panji banyak menggambarkan bagaimana leluhur kita mengimajinasikan unsur pertemuan karakter dengan alam dalam perjalanan mereka.
Terlebih, menurut wanita yang kerap disapa Yayas ini, dalam Panji, "Alam bukan sekadar latar dari cerita, melainkan sudah menjadi kanvas bagi karakter dalam cerita."
Seniman kelahiran Denpasar Bali, 16 September 1983 ini mengambil contoh karakter Galuh Candra Kirana dalam hikayat Panji Kuda Semirang. Dalam hikayat tersebut, hutan Asmarantaka menjadi kanvas bagi Candra Kirana saat dia terbuang dari persekusi oleh orang-orang yang tidak menyukainya.
Hutan, yang dalam budaya barat kerap digambarkan sebagai sesuatu yang mengerikan hingga perlu dijauhi, justru digambarkan sebagai tempat belajar bagi karakter-karakter dalam cerita Panji.
"Dalam (hikayat) Panji Semirang, kita melihat sosok Candra Kirana terinspirasi dari hutan," ujar pengajar Ilmu Filsafat di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia tersebut dalam Gelar Wicara Festival Budaya Panji 2024 yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta pada Kamis (24/10/2024).
Gambuh
Salah satu wujud nyata keterkaitan alam dan manusia dalam seni Panji ada pada seni Gambuh yang berasal dari Bali, khususnya pada penggunaan suling. Dalam Gambuh, suling bukan hanya dianggap sebagai alat musik, melainkan jantung yang menghidupkan seluruh irama.
Baca Juga: Cerita Panji di Wayang Krucil dan Falsafah Jawa yang Lestari
Epi Martison, seorang seniman pendamping yang berpengalaman, mengungkapkan bahwa suling gambuh, yang terbuat dari batang bambu, adalah ciri khas yang paling menonjol dari gamelan ini.
Bayangkan sebuah instrumen berukuran sekitar 75 hingga 100 sentimeter dengan diameter berkisar antara 4 hingga 5 sentimeter. Ukuran yang cukup signifikan ini memungkinkan suling gambuh menghasilkan suara yang khas, merdu, dan mampu menembus segala lapisan irama dalam sebuah pertunjukan gamelan.
Dalam penelitiannya yang berjudul "Jenis dan Teknik Membuat Instrumen Suling dalam Seni Karawitan Bali", I Wayan Suharta dari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar memberikan kita wawasan yang lebih mendalam.
Ia menjelaskan bahwa dalam pembuatan suling gambuh, para pengrajin selalu berusaha mendapatkan bambu tiying, sebuah jenis bambu asli Bali yang terkenal akan kualitas suaranya.
Bambu tiying dianggap sebagai bahan terbaik karena mampu menghasilkan nada yang keras, tajam, dan berkarakter kuat, sehingga sangat cocok untuk menjadi jiwa dari gamelan Gambuh.
Dalam Festival Budaya Panji, seni Gambuh sendiri ditampilkan oleh Sanggar Seni Satriya Lelana yang bercerita tentang sosok Panji sang pangeran Kahuripan yang diberi hadiah berupa wilayah Pranaraga dan Putri Mahkota Gegelang usai berhasil mengalahkan Raja Kebalan.
Namun, kedamaian tak berlangsung lama. Raja Pamotan, saudara Kerajaan Gegelang, dendam atas kekalahan saudaranya. Ia menyerang Pranaraga untuk membalas dendam dan membunuh Panji.
Berkat kepiawaiannya dalam peperangan, Panji berhasil mengalahkan Raja Pamotan. Kemenangan ini membawa kedamaian dan kemakmuran bagi Kerajaan Pranaraga. Sebagai ungkapan syukur, Panji bersama rakyatnya mengadakan upacara sesaji, memohon berkah agar selalu hidup tenteram dan makmur.
Dalam pementasan yang persiapannya didampingi langsung oleh Epi Martison tersebut, suling Gambuh, tentu saja, menjadi salah satu unsur utama. Apalagi, menurut Dr. I Wayan Budiarsa dari Sanggar Seni Satriya Lelana, kehadiran suling menjadi hal yang sangat penting karena terkait dengan Prasasti Baturan Isaka 944.
Dengan cara inilah, Wayan menilai, "Pementasan bisa kami pertanggungjawabkan karena sesuai dengan isi prasasti."
Meski upaya mempertanggungjawabkan pementasan tersebut tidak berjalan mudah. Salah satu penyebabnya adalah Wayan dan Epi harus berpikir keras untuk menampilkan gambuh yang biasanya berdurasi 4 jam dan melibatkan 40 sampai 50 orang, menjadi hanya berdurasi 30 menit dan hanya melibatkan 12 orang.
Wayan mengaku harus berinovasi untuk bisa melakukan perubahan besar tersebut. Beruntung, dia bisa banyak berdiskusi dengan Epi. Terlebih, Epi sendiri justru melihat perubahan peringkasan tersebut memiliki banyak hal yang positif.
"Mereka belajar jadi multitasking dari yang awalnya hanya menari, jadi bisa menabuh bahkan bisa mengelola kebutuhan tim," ungkap Epi yang menilai hal tersebut pada akhirnya bisa menghemat secara biaya.
Namun, pria kelahiran Baserah Riau, 13 Maret 1963 tersebut meyakini bahwa meski dengan personel yang jauh lebih sedikit, pesan yang disampaikan dalam pementasan tersebut masih dapat tersampaikan dengan baik.
"Ya, ini merupakan tantangan bagi kami. Namun, kami pementasan ini tetap dijamin menarik tanpa mengurangi intisari cerita," pungkas Wayan.
KOMENTAR