Epi Martison, seorang seniman pendamping yang berpengalaman, mengungkapkan bahwa suling gambuh, yang terbuat dari batang bambu, adalah ciri khas yang paling menonjol dari gamelan ini.
Bayangkan sebuah instrumen berukuran sekitar 75 hingga 100 sentimeter dengan diameter berkisar antara 4 hingga 5 sentimeter. Ukuran yang cukup signifikan ini memungkinkan suling gambuh menghasilkan suara yang khas, merdu, dan mampu menembus segala lapisan irama dalam sebuah pertunjukan gamelan.
Dalam penelitiannya yang berjudul "Jenis dan Teknik Membuat Instrumen Suling dalam Seni Karawitan Bali", I Wayan Suharta dari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar memberikan kita wawasan yang lebih mendalam.
Ia menjelaskan bahwa dalam pembuatan suling gambuh, para pengrajin selalu berusaha mendapatkan bambu tiying, sebuah jenis bambu asli Bali yang terkenal akan kualitas suaranya.
Bambu tiying dianggap sebagai bahan terbaik karena mampu menghasilkan nada yang keras, tajam, dan berkarakter kuat, sehingga sangat cocok untuk menjadi jiwa dari gamelan Gambuh.
Dalam Festival Budaya Panji, seni Gambuh sendiri ditampilkan oleh Sanggar Seni Satriya Lelana yang bercerita tentang sosok Panji sang pangeran Kahuripan yang diberi hadiah berupa wilayah Pranaraga dan Putri Mahkota Gegelang usai berhasil mengalahkan Raja Kebalan.
Namun, kedamaian tak berlangsung lama. Raja Pamotan, saudara Kerajaan Gegelang, dendam atas kekalahan saudaranya. Ia menyerang Pranaraga untuk membalas dendam dan membunuh Panji.
Berkat kepiawaiannya dalam peperangan, Panji berhasil mengalahkan Raja Pamotan. Kemenangan ini membawa kedamaian dan kemakmuran bagi Kerajaan Pranaraga. Sebagai ungkapan syukur, Panji bersama rakyatnya mengadakan upacara sesaji, memohon berkah agar selalu hidup tenteram dan makmur.
Dalam pementasan yang persiapannya didampingi langsung oleh Epi Martison tersebut, suling Gambuh, tentu saja, menjadi salah satu unsur utama. Apalagi, menurut Dr. I Wayan Budiarsa dari Sanggar Seni Satriya Lelana, kehadiran suling menjadi hal yang sangat penting karena terkait dengan Prasasti Baturan Isaka 944.
Dengan cara inilah, Wayan menilai, "Pementasan bisa kami pertanggungjawabkan karena sesuai dengan isi prasasti."
Meski upaya mempertanggungjawabkan pementasan tersebut tidak berjalan mudah. Salah satu penyebabnya adalah Wayan dan Epi harus berpikir keras untuk menampilkan gambuh yang biasanya berdurasi 4 jam dan melibatkan 40 sampai 50 orang, menjadi hanya berdurasi 30 menit dan hanya melibatkan 12 orang.
Wayan mengaku harus berinovasi untuk bisa melakukan perubahan besar tersebut. Beruntung, dia bisa banyak berdiskusi dengan Epi. Terlebih, Epi sendiri justru melihat perubahan peringkasan tersebut memiliki banyak hal yang positif.
"Mereka belajar jadi multitasking dari yang awalnya hanya menari, jadi bisa menabuh bahkan bisa mengelola kebutuhan tim," ungkap Epi yang menilai hal tersebut pada akhirnya bisa menghemat secara biaya.
Namun, pria kelahiran Baserah Riau, 13 Maret 1963 tersebut meyakini bahwa meski dengan personel yang jauh lebih sedikit, pesan yang disampaikan dalam pementasan tersebut masih dapat tersampaikan dengan baik.
"Ya, ini merupakan tantangan bagi kami. Namun, kami pementasan ini tetap dijamin menarik tanpa mengurangi intisari cerita," pungkas Wayan.
KOMENTAR