Wu Sangui menulis surat kepada Dorgon yang mengusulkan aliansi untuk membantu memulihkan Ming. Sebagai gantinya, Dorgon akan diberikan wilayah yang telah diduduki dan keuntungan besar.
Dorgon, yang merasakan keseimbangan kekuatan, menerima gagasan aliansi, tetapi tidak akan ada pemulihan. Ia menyambut bantuan Wu Sangui untuk membalas dendam atas Ming dengan mendirikan Dinasti Qing sebagai pewaris Mandat Surga.
Wu memutuskan untuk menerima tawaran itu. Saat fajar pada tanggal 27 Mei, Wu Sangui secara pribadi menyerah kepada Dorgon dan menyerahkan nasibnya kepada Manchu.
Li Zicheng menghadapi aliansi Ming-Qing
Li Zicheng segera mendapati dirinya menghadapi invasi gabungan Ming-Qing. Pasukan pemberontak bertempur melawan pasukan Wu hingga terhenti. Saat itu badai pasir dan pasukan Manchu yang mengepung mengubah arah pertempuran.
Kavaleri Manchu tampaknya telah mengejutkan pasukan Shun dan kebuntuan berubah menjadi kekalahan. Kekalahan itu kemudian berubah menjadi kekacauan. Li Zicheng, yang secara pribadi memimpin pasukannya ke medan perang, mencoba mengatur ulang untuk serangan lain. Namun garis pertahanan terputus. Tentara Shun mengalir kembali ke Beijing, beberapa melampiaskan rasa frustrasi dan amarah mereka dengan membakar lingkungan sekitar tembok kota.
Pasukan Li Zicheng yang kalah membakar Istana Kota Terlarang
Li Zicheng sendiri dan sebagian besar pasukannya kembali ke ibu kota pada tanggal 31 Mei. Mereka kalah dan mulai menjarah kota yang selama sebulan telah menjadi ibu kota mereka.
Untuk pemerintahan yang singkat dan memalukan, Li Zicheng mempersiapkan dua tindakan besar untuk mengakhirinya. “Pada tanggal 3 Juni, ia mengatur upacara penobatan yang formal namun tergesa-gesa,” tulis Wakeman. Li Zicheng menorehkan namanya dalam catatan sejarah Kekaisaran Tiongkok sebagai Kaisar Yongchang dari Dinasti Shun.
Tanggal 4 Juni merupakan hari pertama dan terakhirnya mengisi jabatan sebagai kaisar di Beijing. Sebagai “kaisar”, Li Zicheng memerintahkan agar istana, beserta sebagian besar kota, dibakar.
Frederic Wakeman mendeskripsikan situasi pada tanggal 4 Juni 1644. “Asap dan api memenuhi langit. Api membakar hampir setiap distrik kota. Secara keseluruhan, hampir dua ribu orang dibantai sebelum pembantaian berhenti. Kota yang trauma itu perlahan-lahan menjadi sunyi, dengan tegang menunggu penjajah barunya.”
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR