Di tengah ketidakpastian tersebut, muncul William Lever, seorang pengusaha visioner dari Inggris, yang memiliki ambisi besar untuk menguasai industri minyak kelapa sawit. Pendiri perusahaan sabun Lever Brothers tersebut melihat potensi besar di Afrika, terutama di Kongo, yang kaya akan sumber daya alam.
Meskipun menghadapi penolakan dari pemerintah kolonial Inggris, karena diduga akan memicu monopoli yang merugikan kepentingan masyarakat lokal, Lever berhasil mengamankan konsesi lahan yang luas di Kongo pada tahun 1911.
Dengan investasi besar, Lever membangun perkebunan kelapa sawit modern di Kongo dengan didirikannya Huileries du Congo Belge. “Melalui perjanjian yang menguntungkan dengan pemerintah kolonial Belgia, William Lever berhasil mengamankan lahan seluas 750.000 hektar di Kongo untuk pengembangan perkebunan kelapa sawitnya,” jelas Phillips.
Namun, proyek ambisiusnya ini dihadapkan pada berbagai tantangan. Infrastruktur yang kurang memadai, kesulitan merekrut tenaga kerja, dan biaya produksi yang tinggi menjadi kendala utama. Praktik perekrutan paksa yang dilakukan oleh perusahaan juga memicu masalah sosial dan kemanusiaan yang serius.
Meskipun demikian, Lever berhasil membangun sebuah imperium minyak kelapa sawit dan meletakkan dasar bagi perusahaan multinasional besar seperti Unilever. Namun, model bisnisnya yang eksploitatif terhadap sumber daya alam dan tenaga kerja menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Munculnya pesaing dari Asia Tenggara juga memberikan tekanan yang kuat pada bisnis Lever di Kongo.
Hampir berakhir menjadi tanaman hias
Meskipun saat ini Asia Tenggara mendominasi panggung produksi minyak kelapa sawit dunia, dengan Indonesia dan Malaysia menyumbang sekitar 85% dari total pasokan global, perjalanan komoditas ini di kawasan ini dimulai dari titik yang sangat sederhana.
Menurut Dr. Ir. Tungkot Sipayung pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), semuanya berawal pada tahun 1848.
Saat itu, empat bibit kelapa sawit yang dibawa dari Bourbon, Mauritius, dan Amsterdam ahli botani Belanda Dr. D. T. Prye. Keempat bibit yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor tersebut pada akhirnya menandai awal dari kisah panjang perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara.
“Itulah induk dari seluruh tanaman sawit yang ada di Indonesia,” jelas Tungkot, saat diwawancarai National Geographic Indonesia di Jakarta, Jumat, (18/10/2024).
Baca Juga: Mengintip Upaya Konservasi Biodiversitas oleh Industri Kelapa Sawit Malaysia
KOMENTAR