Hanya saja, saat itu buah-buah tersebut tidak bisa diolah secara komersial karena ketiadaan tempat pengolahan. Nah, dalam penjelasan GAPKI, ketiadaan pengolahan sawit tersebut baru terjawab melalui berdirinya Socfin, seperti diuraikan di atas.
Pada tahun 1916, untuk meningkatkan produktivitas perkebunan karet di Sumatera Timur, Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra (AVROS) mendirikan lembaga penelitian Algemeene Proefstation der AVROS (APA) di Medan. Lembaga ini dibentuk dengan tujuan mengembangkan teknologi perbenihan dan budidaya karet.
Meskipun penelitian awal difokuskan pada tanaman karet, APA juga berperan penting dalam pengembangan budidaya kelapa sawit, khususnya melalui penelitian skala besar di Marihat. Bisa dibilang, mereka adalah pelopor dalam hal penelitian kelapa sawit secara komersial.
Kembali ke sosok Hallet, menurut Phillips, perannya dalam industri kelapa sawit di Asia Tenggara, tidak berhenti dengan pendirian Socfin di Indonesia. Hallet juga turut membantu dua pengusaha Prancis untuk mengembangkan perkebunan komersial pertama di Malaysia pada tahun 1917.
“Selanjutnya perusahaan-perusahaan asing lain seperti Jerman, Belanda, dan juga Inggris mulai berlomba-lomba untuk membuka perkebunan kelapa sawit,” jelas Tungkot.
Selanjutnya pada 1916 sudah muncul 19 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Jumlah yang terus meningkat hingga mencapai 34 perusahaan pada 1920.
Satu tahun sebelumnya, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pertama dibangun dan setelahnya berhasil mengekspor minyak kelapa sawit (CPO) sebanyak 576 ton. Puncaknya terjadi pada 1937 (1936 menurut Phillips), Indonesia berhasil menyumbang 40 persen dari total produksi CPO di dunia, mengalahkan Nigeria.
Masa suram dan titik balik menuju kejayaan
Namun, kejayaan tersebut tidak berlangsung terlalu lama. Jumlah produksi CPO yang pada tahun 1940 pernah mencapai 239 ribu ton, tiba-tiba anjlok menjadi hanya 147 ribu ton pada 1958. Posisi Indonesia pun segera disalip oleh Nigeria dan Kongo hingga pada akhirnya sumbangan Indonesia terhadap total produksi CPO dunia turun hanya menjadi 17 persen.
Sebenarnya, fenomena penurunan produksi kelapa sawit juga melanda beberapa negara lain di seluruh dunia pada tahun-tahun tersebut. Pemicunya adalah Perang Dunia Kedua. Phillips menekankan kehadiran Jepang yang menjajah beberapa wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia sebagai salah satu biang keroknya.
Selain buruk dari sisi jumlah produksi, kondisi eksploitasi yang dilakukan oleh Jepang, termasuk di industri kelapa sawit, semakin memperburuk keadaan. “Para pekerja yang kemudian disebut dengan ‘kuli’ ini dipekerjakan melalui sistem kerja paksa, yaitu sistem kerja paksa yang mengandalkan ikatan utang dan kekerasan,” papar Phillips.
Ketika akhirnya merdeka, industri kelapa sawit Indonesia ternyata tidak serta merta membaik. Kebijakan ekonomi di masa-masa awal kemerdekaan yang mengobarkan nasionalisme ternyata dianggap tidak kondusif secara ekonomi bagi para investor asing.
Phillips menggambarkan kondisi yang berbeda terjadi di Malaysia yang justru memilih bersikap lebih pragmatis sesuai kemerdekaan dengan lebih banyak membuka keran investasi dari negara lain. Hal ini, tentu saja turut berdampak pada industri kelapa sawit negara tersebut.
Fase kebangkitan industri kelapa sawit Indonesia, menurut Tungkot, baru mulai terjadi pada 1966, saat rezim Orde Baru memegang kekuasaan Indonesia. Terlebih, rezim tersebut memang membuka keran investasi asing sebesar-besarnya. Ditambah dengan kondisi politik, sosial, dan ekonomi, yang relatif stabil, maka pertumbuhan sawit pun semakin terdorong.
Namun, menurut Tungkot, “Baru tahun 1980-an kita baru mengembangkan industri kelapa sawit secara sungguh-sungguh.” Hal ini salah satunya ditandai dengan masuknya dana lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Hasilnya, luas perkebunan kelapa sawit yang pada dekade 1970-an hanya mencapai 150.000 hektar, melesat menjadi 600.000 hektar pada 1985, lalu 3,9 juta hektar pada 1999, dan kini, berdasarkan data Kementerian Pertanian pada 2023, luas kebun sawit Indonesia sudah mencapai 17,3 juta hektar.
Dari sisi produktivitas, melansir laman GAPKI, produksi CPO meningkat dari sekitar 700 ribu ton pada tahun 1980 menjadi 33,5 juta ton pada tahun 2016. Sementara pada 2003, menurut data BPS, jumlah produksi CPO Indonesia sudah mencapai 50,07 juta ton.
“Tidak hanya menjadi yang paling luas, tapi juga berhasil menjadi produsen nomor satu di dunia. Kita sekarang menjadi raja sawit,” tutur Tungkot.
Namun, ada harga mahal untuk sebuah kejayaan. Peningkatan jumlah lahan kelapa sawit tersebut memang memberikan dampak positif secara ekonomi, tapi terhadap lingkungan, ceritanya tidak “semulus” itu. Seperti apa rinciannya? Tunggu artikel berikutnya.
KOMENTAR