Nationalgeographic.co.id—Kelapa sawit, yang jumlah produksinya sudah mencapai 50,07 juta ton pada tahun 2023 ternyata hampir saja berakhir sebagai tanaman hias.
Hingga kemudian seorang warga negara Belgia melihat bahwa tanaman, yang saat ini banyak disorot karena dampak buruknya terhadap lingkungan tersebut, bisa tumbuh dengan baik di pinggiran jalan di suatu wilayah di Sumatera.
Meski sempat ikut merasakan lika-liku ekonomi dan politik, tanaman penghasil minyak nabati asal Afrika Barat ini pada akhirnya berhasil menempatkan Indonesia sebagai pemilik lahan kelapa sawit terluas di dunia.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mari kita ikuti sejarah lengkap kelapa sawit berikut ini.
Menyebar melalui perbudakan
Sejak abad ke-15, minyak kelapa sawit telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Afrika Barat. Minyak ini tak hanya digunakan sebagai sumber energi, tetapi juga menjadi komoditas perdagangan yang menguntungkan.
“Saat perdagangan budak marak, minyak kelapa sawit ikut diperdagangkan sebagai sumber nutrisi bagi para budak,” tulis Josie Phillips di laman Dialogue.Earth.
Setelah perbudakan dilarang pada 1807, Inggris melihat potensi besar pada minyak kelapa sawit dan memberikan berbagai insentif untuk mengembangkan industri ini di Afrika Barat. Dengan menghapus bea cukai pada 1845, minyak kelapa sawit menjadi lebih kompetitif di pasar global.
Menjelang akhir abad ke-19, minyak kelapa sawit menjadi komoditas ekspor utama Afrika Barat. Di Eropa, minyak ini sangat diminati karena kualitasnya yang unggul dibandingkan produk serupa. Minyak kelapa sawit digunakan untuk membuat sabun, lilin, dan pelumas.
Namun, produksi minyak kelapa sawit di Afrika Barat masih sangat tradisional. Permintaan yang tinggi dari Eropa mendorong perluasan dan modernisasi perkebunan kelapa sawit di koloni-koloni Eropa.
Upaya-upaya yang dilakukan pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tersebut tentu saja bukanlah tanpa tantangan. Beberapa inisiatif awal yang dilakukan oleh berbagai pihak mengalami kegagalan, namun semangat untuk mengindustrialisasi produksi minyak nabati tropis ini tidak surut.
Baca Juga: Perusahaan Ini Ubah Limbah Pertanian jadi Alternatif Minyak Kelapa Sawit
Di tengah ketidakpastian tersebut, muncul William Lever, seorang pengusaha visioner dari Inggris, yang memiliki ambisi besar untuk menguasai industri minyak kelapa sawit. Pendiri perusahaan sabun Lever Brothers tersebut melihat potensi besar di Afrika, terutama di Kongo, yang kaya akan sumber daya alam.
Meskipun menghadapi penolakan dari pemerintah kolonial Inggris, karena diduga akan memicu monopoli yang merugikan kepentingan masyarakat lokal, Lever berhasil mengamankan konsesi lahan yang luas di Kongo pada tahun 1911.
Dengan investasi besar, Lever membangun perkebunan kelapa sawit modern di Kongo dengan didirikannya Huileries du Congo Belge. “Melalui perjanjian yang menguntungkan dengan pemerintah kolonial Belgia, William Lever berhasil mengamankan lahan seluas 750.000 hektar di Kongo untuk pengembangan perkebunan kelapa sawitnya,” jelas Phillips.
Namun, proyek ambisiusnya ini dihadapkan pada berbagai tantangan. Infrastruktur yang kurang memadai, kesulitan merekrut tenaga kerja, dan biaya produksi yang tinggi menjadi kendala utama. Praktik perekrutan paksa yang dilakukan oleh perusahaan juga memicu masalah sosial dan kemanusiaan yang serius.
Meskipun demikian, Lever berhasil membangun sebuah imperium minyak kelapa sawit dan meletakkan dasar bagi perusahaan multinasional besar seperti Unilever. Namun, model bisnisnya yang eksploitatif terhadap sumber daya alam dan tenaga kerja menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Munculnya pesaing dari Asia Tenggara juga memberikan tekanan yang kuat pada bisnis Lever di Kongo.
Hampir berakhir menjadi tanaman hias
Meskipun saat ini Asia Tenggara mendominasi panggung produksi minyak kelapa sawit dunia, dengan Indonesia dan Malaysia menyumbang sekitar 85% dari total pasokan global, perjalanan komoditas ini di kawasan ini dimulai dari titik yang sangat sederhana.
Menurut Dr. Ir. Tungkot Sipayung pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), semuanya berawal pada tahun 1848.
Saat itu, empat bibit kelapa sawit yang dibawa dari Bourbon, Mauritius, dan Amsterdam ahli botani Belanda Dr. D. T. Prye. Keempat bibit yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor tersebut pada akhirnya menandai awal dari kisah panjang perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara.
“Itulah induk dari seluruh tanaman sawit yang ada di Indonesia,” jelas Tungkot, saat diwawancarai National Geographic Indonesia di Jakarta, Jumat, (18/10/2024).
Baca Juga: Mengintip Upaya Konservasi Biodiversitas oleh Industri Kelapa Sawit Malaysia
Bibit-bibit tersebut selanjutnya dicoba ditanam di beberapa tempat lain di Indonesia, seperti, Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Perlu dicatat bahwa saat itu tujuannya bukan sebagai tanaman produksi, melainkan hanya sebagai tanaman hias atau ornamental.
Sebuah tujuan, yang hampir saja benar-benar menjadi kenyataan. Sebab, sebagian besar wilayah di mana bibit-bibit kelapa sawit tersebut ditanam tidak mampu menjadi area tanam yang cocok bagi bibit-bibit tersebut.
Hingga kemudian Adrien Hallet, seorang pengusaha Belgia yang memiliki pengalaman luas dalam bidang perkebunan, melihat sawit yang ditanam secara ornamental sebagai hiasan di Tanjung Morawa, Sumatera Utara.
Hallet yang kemudian menjadi salah satu pemilik Société Financière des Caoutchoucs (Socfin), melihat pohon-pohon sawit tersebut tumbuh dengan baik dengan kandungan minyak yang tinggi dan buah yang besar. Bahkan jika dibandingkan dengan kondisi di Afrika.
“Saat itulah dia berpikirnya bagus untuk sumber minyak nabati jadi cobalah mulai menanam secara pertama di Sungai Liput, Aceh. Sekaligus menjadi cikal bakal Socfin,” papar Indra Syahputra, Direktur Riset di PT. Socfindo, saat ditemui National Geographic Indonesia di kawasan perkebunan Bangun Bandar, Serdang, Sumatera Utara, Selasa (1/10/2024).
Komersialisasi pertama di bumi Andalas
Penanaman oleh Hallet di Sungai Liput dan selanjutnya di Pulau Raja, Sumatera Utara, pada tahun 1911 tersebut menandai usaha perkebunan kelapa sawit secara komersial pertama di Indonesia.
Namun, menurut Tungkot, sebenarnya pembudidayaan sawit sempat berhasil dilakukan oleh sebuah perusahaan Belanda bernama Deli Maatschappij, yang tentu saja berada di distrik Deli, Sumatera Utara.
“Uji coba pertama sawit menjadi perkebunan itu terjadi di tanah Deli, dan hasilnya ternyata lebih bagus daripada di daerah leluhurnya di Afrika Barat,” papar Tungkot
Hal senada disampaikan tertuang di laman resmi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), yang merujuk pada sebuah laporan yang dibuat oleh J. Kroll Manajer Deli Maatschappij yang menyatakan bahwa produksi minyak yang dihasilkan dari bibit yang ditanam oleh perusahaannya lebih baik dibandingkan habitat aslinya di Afrika Barat.
Baca Juga: Industri Kelapa Sawit Tengah Dihantam 'Karma', Dipicu Perubahan Iklim?
Hanya saja, saat itu buah-buah tersebut tidak bisa diolah secara komersial karena ketiadaan tempat pengolahan. Nah, dalam penjelasan GAPKI, ketiadaan pengolahan sawit tersebut baru terjawab melalui berdirinya Socfin, seperti diuraikan di atas.
Pada tahun 1916, untuk meningkatkan produktivitas perkebunan karet di Sumatera Timur, Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra (AVROS) mendirikan lembaga penelitian Algemeene Proefstation der AVROS (APA) di Medan. Lembaga ini dibentuk dengan tujuan mengembangkan teknologi perbenihan dan budidaya karet.
Meskipun penelitian awal difokuskan pada tanaman karet, APA juga berperan penting dalam pengembangan budidaya kelapa sawit, khususnya melalui penelitian skala besar di Marihat. Bisa dibilang, mereka adalah pelopor dalam hal penelitian kelapa sawit secara komersial.
Kembali ke sosok Hallet, menurut Phillips, perannya dalam industri kelapa sawit di Asia Tenggara, tidak berhenti dengan pendirian Socfin di Indonesia. Hallet juga turut membantu dua pengusaha Prancis untuk mengembangkan perkebunan komersial pertama di Malaysia pada tahun 1917.
“Selanjutnya perusahaan-perusahaan asing lain seperti Jerman, Belanda, dan juga Inggris mulai berlomba-lomba untuk membuka perkebunan kelapa sawit,” jelas Tungkot.
Selanjutnya pada 1916 sudah muncul 19 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Jumlah yang terus meningkat hingga mencapai 34 perusahaan pada 1920.
Satu tahun sebelumnya, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pertama dibangun dan setelahnya berhasil mengekspor minyak kelapa sawit (CPO) sebanyak 576 ton. Puncaknya terjadi pada 1937 (1936 menurut Phillips), Indonesia berhasil menyumbang 40 persen dari total produksi CPO di dunia, mengalahkan Nigeria.
Masa suram dan titik balik menuju kejayaan
Namun, kejayaan tersebut tidak berlangsung terlalu lama. Jumlah produksi CPO yang pada tahun 1940 pernah mencapai 239 ribu ton, tiba-tiba anjlok menjadi hanya 147 ribu ton pada 1958. Posisi Indonesia pun segera disalip oleh Nigeria dan Kongo hingga pada akhirnya sumbangan Indonesia terhadap total produksi CPO dunia turun hanya menjadi 17 persen.
Sebenarnya, fenomena penurunan produksi kelapa sawit juga melanda beberapa negara lain di seluruh dunia pada tahun-tahun tersebut. Pemicunya adalah Perang Dunia Kedua. Phillips menekankan kehadiran Jepang yang menjajah beberapa wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia sebagai salah satu biang keroknya.
Selain buruk dari sisi jumlah produksi, kondisi eksploitasi yang dilakukan oleh Jepang, termasuk di industri kelapa sawit, semakin memperburuk keadaan. “Para pekerja yang kemudian disebut dengan ‘kuli’ ini dipekerjakan melalui sistem kerja paksa, yaitu sistem kerja paksa yang mengandalkan ikatan utang dan kekerasan,” papar Phillips.
Ketika akhirnya merdeka, industri kelapa sawit Indonesia ternyata tidak serta merta membaik. Kebijakan ekonomi di masa-masa awal kemerdekaan yang mengobarkan nasionalisme ternyata dianggap tidak kondusif secara ekonomi bagi para investor asing.
Phillips menggambarkan kondisi yang berbeda terjadi di Malaysia yang justru memilih bersikap lebih pragmatis sesuai kemerdekaan dengan lebih banyak membuka keran investasi dari negara lain. Hal ini, tentu saja turut berdampak pada industri kelapa sawit negara tersebut.
Fase kebangkitan industri kelapa sawit Indonesia, menurut Tungkot, baru mulai terjadi pada 1966, saat rezim Orde Baru memegang kekuasaan Indonesia. Terlebih, rezim tersebut memang membuka keran investasi asing sebesar-besarnya. Ditambah dengan kondisi politik, sosial, dan ekonomi, yang relatif stabil, maka pertumbuhan sawit pun semakin terdorong.
Namun, menurut Tungkot, “Baru tahun 1980-an kita baru mengembangkan industri kelapa sawit secara sungguh-sungguh.” Hal ini salah satunya ditandai dengan masuknya dana lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Hasilnya, luas perkebunan kelapa sawit yang pada dekade 1970-an hanya mencapai 150.000 hektar, melesat menjadi 600.000 hektar pada 1985, lalu 3,9 juta hektar pada 1999, dan kini, berdasarkan data Kementerian Pertanian pada 2023, luas kebun sawit Indonesia sudah mencapai 17,3 juta hektar.
Dari sisi produktivitas, melansir laman GAPKI, produksi CPO meningkat dari sekitar 700 ribu ton pada tahun 1980 menjadi 33,5 juta ton pada tahun 2016. Sementara pada 2003, menurut data BPS, jumlah produksi CPO Indonesia sudah mencapai 50,07 juta ton.
“Tidak hanya menjadi yang paling luas, tapi juga berhasil menjadi produsen nomor satu di dunia. Kita sekarang menjadi raja sawit,” tutur Tungkot.
Namun, ada harga mahal untuk sebuah kejayaan. Peningkatan jumlah lahan kelapa sawit tersebut memang memberikan dampak positif secara ekonomi, tapi terhadap lingkungan, ceritanya tidak “semulus” itu. Seperti apa rinciannya? Tunggu artikel berikutnya.
KOMENTAR