Depresiasi: perang dan pengelolaan ekonomi yang buruk
Bangsa Mongol memiliki kebiasaan unik ketika menjajah suatu wilayah. Mereka berusaha menghapus sepenuhnya sisa-sisa rezim sebelumnya melalui cara yang sangat kejam. Hal ini pun terus berlanjut ketika mereka menguasai Kekaisaran Tiongkok. Kubilai Khan berusaha menghapus Dinasti Song Selatan sepenuhnya. Ia memulai sejumlah perang pada 1270-an untuk menyatukan Tiongkok Utara dan Selatan. Bersamaan dengan itu, seperti yang disarankan oleh banyak pejabat, ia juga memulai perang untuk menaklukkan Asia Tenggara dan Jepang.
Mirip dengan kasus-kasus lain dalam sejarah dunia, pembiayaan kekaisaran yang didirikan atas dasar peperangan mengakibatkan depresiasi perbendaharaan. Untuk melawan Song Selatan, mata uang yang didukung perak yang disebut zhongtongchao diterbitkan dalam jumlah yang lebih besar. Periode ini juga ditandai dengan investasi yang wajar dalam infrastruktur dan konstruksi publik, yang semakin memperburuk hiperinflasi. Pada 1287, zhiyuanchao, mata uang kertas baru diperkenalkan. Nilainya diduga lima kali lipat dari nilai yang lama.
Kedua mata uang tersebut diizinkan untuk beroperasi pada saat yang sama. Namun nilai zhongtongchao telah anjlok hingga 80% saat itu. Pada 1311, kedua mata uang kertas ini diterbitkan kembali setelah dihentikan. Namun keduanya tidak lagi dijamin atau didukung oleh perak. Kedua mata uang tersebut bertahan selama 40 tahun penuh.
Pada 1352, mata uang kertas terakhir, zhizengchao. Namun kejatuhan Dinasti Yuan menyebabkan depresiasi dan penurunan nilainya yang cepat. Uang kertas hampir tidak bernilai pada saat Dinasti Ming menggulingkan Yuan pada 1368. Pada saat itu, sebagian besar kota, prefektur, kabupaten, dan kota telah kembali ke ekonomi barter!
Apakah hiperinflasi Dinasti Yuan Tiongkok menyebabkan keruntuhan ekonomi?
Perang adalah salah satu alasan utama runtuhnya penggunaan mata uang kertas Dinasti Yuan. Selain itu, ada faktor lain. Misalnya ukuran Tiongkok. Bahkan saat ini, Tiongkok adalah negara terbesar ketiga di dunia berdasarkan luas daratan, yang membentang seluas 9,6 juta kilometer persegi. Selain itu, Kekaisarain Tiongkok kekurangan cadangan perak dalam negeri. Perak harus diimpor terlebih dahulu dari Jepang, dan kemudian dari Amerika. Hal ini pun turut menciptakan defisit perdagangan yang berlangsung hingga akhir era Dinasti Ming.
Selain itu, standar logam memiliki kekuatan untuk membatasi penerbitan uang secara berlebihan. Namun tekanan fiskal yang terus meningkat akibat peperangan membuat standar logam yang stabil tidak dapat dipertahankan. Selama tahun-tahun perang Dinasti Song, misalnya, perak yang disimpan di gudang-gudang lokal diangkut ke ibu kota. Perak tersebut digunakan untuk mendanai pengeluaran militer secara langsung.
Terjadi di awal sejarah mata uang, pengalaman ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi Kubilai Khan tidak sekuat yang diyakini masyarakat. Selain itu, kurangnya emas dan perak berarti masyarakat tidak dapat menukar mata uang dengan nilai tukar tetap.
Pada 1350-an, uang kertas mulai diterbitkan oleh lembaga pemerintah swasta, provinsi, dan pusat. Hal ini menyebabkan ledakan kredit, yang menyebabkan penurunan nilai yang tajam.
Pukulan terakhir datang melalui kematian Kubilai Khan, yang menciptakan kekosongan kekuasaan. Dinasti tersebut menghabiskan lebih banyak pendapatan untuk memelihara keluarga kerajaan dan menteri mereka guna menstabilkan rezim. Harga komoditas pun meningkat sepuluh kali lipat pada akhir abad ke-13. Semua itu menyebabkan kesulitan besar di kalangan masyarakat umum.
Akan adil untuk berpendapat bahwa eksperimen mata uang kertas Dinasti Yuan Tiongkok bersifat revolusioner. Pasalnya, mata uang kertas itu muncul hampir 500 tahun sebelum ekonomi Eropa dan negara-negara Barat lainnya mengikutinya.
Namun, menganggap ini sebagai periode hiperinflasi adalah keliru. Kemurahan hati kekaisaran, pertikaian serta peperangan yang terus-menerus adalah alasan utama mengapa dinasti dan mata uang tersebut mengalami keruntuhan.
Kaisar Dinasti Ming pertama, Hongwu, yang memerintah hingga 1398, jauh lebih berhati-hati. Ia rupanya belajar dari pengalaman pahit Dinasti Yuan. Hongwu mencoba mengembalikan koin tembaga sebagai alat tukar utama. Namun pasokan yang tidak memadai memaksa kembalinya uang kertas. Dalam dua dekade sejak diluncurkan, nilai nominalnya kurang dari seperempat nilai sebenarnya.
Pada awal abad ke-15, Kekaisaran Tiongkok memasuki empat abad mata uang bimetalik. “Koin tembaga untuk transaksi harian. Serta perak untuk perdagangan jarak jauh dan pembayaran dalam jumlah besar,” ungkap Pandey.
Selama abad ke-19, di bawah tekanan dari Barat, Kekaisaran Tiongkok terpaksa kembali menggunakan uang kertas. Dengan demikian, pergerakan mata uang yang terus berubah berakar pada praktik masa lalu.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR